KARMA BAIK

Serendipity..”luck in making desirable discoveries by accident.”  At first, it seems to fit this definition. But then you begin to realize it is no accident, nor is  luck. Bless everything today and be joyful your happiness is intended and not an accident. ♥ ♥ ♥

 Hal-hal kecil yang tampaknya hanya sebuah kebetulan, sering kali bukanlah sebuah kebetulan. Peristiwa itu dirancang untuk datang pada saat yang tepat dan dengan orang-orang yang tepat. Kalau saya bicara dalam bahasa spiritual  mungkin itu adalah sebuah karma baik, yaitu buah dari kebaikan kita di masa lalu. Seperti kisah yang saya alami ini.

Di suatu Sabtu malam saya menyelesaikan pekerjaan saya mengkoordinir pelatihan bagi guru-guru sekolah dasar yang dimulai sejak 2 hari sebelumnya. Para instruktur datang dari Jakarta dan baru akan pulang dengan peasawat pada Minggu pagi. Setelah memastikan bahwa sopir kantor akan mengantar mereka ke bandara esok hari, saya pun pamit pulang, sebab hari keesokan paginya saya harus menghadiri sebuah acara lain.

Saya minta seorang anggota keluarga saya untuk menjemput. Tetapi mobil sedang dipakai oleh anggota keluarga yang lain dan baru bisa dipakai pada pukul sepuluh malam. Maka saya akan dijemput dengan sepeda motor pada pukul tujuh malam. Tetapi ternyata hujan turun sangat deras dengan petir dan guntur menggelagar.  Saya membatalkan jemputan dengan motor dan terpaksa mengunggu sampai jam sepuluh malam.

 Kami   – saya dan empat orang instruktur  – merasa sangat  lelah maka kami masuk ke kamar masing-masing dan beristirahat. Tiba-tiba pukul 9 malam, seorang instruktur perempuan menelpon saya dan meminta saya datang ke kamarnya. Ia meminta saya mengeroki punggungnya. Ia terlihat sangat kesakitan.  Ia kemudian bercerita bahwa 8 tahun sebelumnya ia pernah menderita lupus. Sampai saat ini pun penyakit itu masih menyisakan penderitaan baginya. Kalau terlalu lelah punggung dan lututnya sangat berasa sakit. Beberapa hari sebelumnya ia pun masih menjalani terapi pada tulang belakangnya.

“Untung Ibu tidak jadi dijemput tadi pukul tujuh. Kalau Ibu pulang, siapa yang menolong saya. Saya  tidak bisa minta tolong pada teman-teman instruktur lain karena mereka laki-laki, “ katanya. Tampaknya hanya sebuah kebetulan bahwa hujan deras dan guruh membatalkan kepulangan saya. Tapi bagi saya peristiwa ini bukan kebetulan semata. Peristiwa ini dirancang oleh sang mahahidup agar ibu instruktur itu mendapat pertolongan pada saat yang tepat. Ia mendapatkan kebaikan (pertolongan) pada saat yang tepat karena saya yakin ia sendiri telah berbuat banyak kebaikan pada orang lain. Itulah karma.

Saya lantas teringat peristiwa yang hampir sama berpuluh tahun yang lalu ketika saya masih kuliah di Yogyakarta. Suatu saat saya pulang kampung di Bandar Lampung dengan bus dan kemalaman di jalan. Dulu transportasi belum selancar sekarang. Perjalanan dengan pesawat terbang hanya monopoli anak-anak orang kaya saja. Sejak dari Jakarta, di sebelah saya duduk seorang bapak berusia sekitar 50-an. Dia mengatakan bahwa rumahnya terletak tak jauh dari terminal induk Rajabasa. Ia baru saja menengok anak gadisnya yang kuliah di Jakarta. Menjelang tengah malam bis malam yang saya tumpangi memasuki Bandar Lampung.  Dari terminal saya masih harus berganti dua angkot lagi untuk sampai ke rumah. Anehnya bapak ini mengikuti saya, padahal rumahnya tak jauh dari terminal. Ia mengantar saya sampai saya turun dari angkot tepat di muka gang menuju rumah saya. Ketika saya tanya, bapak tadi mengatakan bahwa ia merasa harus mengantar dan memastikan  saya  aman selamat sampai di rumah. Ia berkeyakinan bahwa jika ia menolong orang lain, maka suatu saat anak gadisnya juga akan ditolong oleh orang lain pada saat ia membutuhkan.

Mungkin itulah karma baik. Tindakan positif akan menuntun pada hasil yang positif. Meski saya yakin bahwa setiap perbuatan baik yang kita lakukan haruslah didasarkan pada sikap iklas, tanpa berharap pada imbalan, tetapi karma konon terjadi secara alamiah seperti hukum gravitasi.  Bagi saya sendiri hal ini membawa kesadaran bahwa jika saya mengharapkan kebahagiaan dan pengalaman baik di masa datang saya harus melakukan tindakan yang baik di masa kini dan jika berharap untuk terhindar dari kekecawaan maka harus menjauhi tindakan negatif.

“Bahkan perbuatan baik yang sederhana

Akan mendatangkan kebahagiaan pada kehidupan mendatang

Yang telah mencapai kehidupan mulia

Bagaikan benih yang menjadi panen berlimpah.”

~ Dhammapada ~

Dalai Lama’s Rules for Living Expanded

“Dalai Lama’s 18 Rules for Living” Expanded

1. Take into account that great love and great achievements involve great risk. Risk is involved in every great opportunity in life. It it isn’t risky, then everyone would be doing, thus making it ordinary and not “great.” Separate yourself from the crowd as one who not only can take risks, but enjoys doing so. Certainty in life can only be so comforting until it gets boring.

2. When you lose, don’t lose the lesson. If you lose what you have learned not to do, you will be doomed to repeat it. More importantly, however, do fear failure. Failure is the precursor to success. Hardly any great thing that you wish to accomplish will come without failure. This ties back to the rule of risk mentioned above.

3. Follow the three Rs:

  1. Respect for selfConfidence is key in success and one who does you respect himself does not believe in himself. Thus, if you do not respect yourself, you cannot possibly succeed in anything great, nor can you respect others.
  2. Respect for othersAnd you will be respected in return. Anyone who does not return that respect is immediately letting you know that they are not worth your time, and that they do not respect themselves. Avoid weak/insecure/self-loathing people.
  3. Responsibility for all your actionsYou alone are responsible for your feelings, actions, success, etc. You are in complete control of your life, so do not try and blame other people for your mistakes or misfortunes. Baca lebih lanjut

Refleksi Dongeng Anak Itik yang Buruk Rupa

(Biarkan Bebek Berenang dan Elang Terbang)

Saya ingat dongeng ibu ketika saya kecil tentang anak itik yang buruk rupa. Alkisah, sebutir telur itik dititipkan pada seekor induk ayam untuk dierami. Ketika genap harinya, menetaslah beberapa ekor anak ayam yang lucu, mungil dan bersih serta seekor anak itik, yang buruk, karena bulu-bulunya belum lagi tumbuh. Mereka diasuh bersama-sama oleh si induk ayam. Tetapi anak-anak ayam itu segera tahu bahwa anak itik itu bukanlah saudara kandung mereka. Si anak itik yang buruk rupa selalu diolok-olok dan dipojokkan.

Suatu hari banjir melanda tempat tinggal mereka. Ayam-ayam tinggal di kandang dan kelaparan. Hujan tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Demi melihat genangan air itu, timbullah getaran kekuatan menjalari tubuh si anak itik untuk merenanginya. Ya ! Si buruk rupa telah menemukan jati dirinya. Ia memang berbeda dengan anak ayam. Ia berenang, makin lama makin lancar, ke sana kemari. Induk angkatnya panik bukan main. Bagaimanapun ia takut anak asuhnya akan tenggelam dan mati. Tapi tidak! Ia justru bisa mencarikan makanan buat induk  dan sudara-saudara angkatnya. Si anak itik telah menjadi makhluk sesuai fitrahnya tetapi tidak pula melupakan siapa yang mengasuhnya.******

Saya  memparalelkan dongeng ini dengan dongeng seekor anak elang yang diasuh induk ayam. Baca lebih lanjut

Some Mystical Poems of St. John of The Cross

St. John of the Cross (1542-1591) is regarded as one of the greatest poets of the Spanish language and among the greatest mystical poets of any language. Drawn to the contemplative life, he joined St. Teresa of Avila in her reform of the discalced Carmelites. John considered his poetry to be the most authentic expression of his theology and his ineffable mystical experience.

1) The Spiritual Canticle

THE BRIDE
Where have You hidden Yourself,
And abandoned me in my groaning, O my Beloved?
You have fled like the hart,
Having wounded me.
I ran after You, crying; but You were gone.

II
O shepherds, you who go
Through the sheepcots up the hill,
If you shall see Him
Whom I love the most,
Tell Him I languish, suffer, and die.

III
In search of my Love
I will go over mountains and strands;
I will gather no flowers,
I will fear no wild beasts;
And pass by the mighty and the frontiers. Baca lebih lanjut

Biji-biji Dandelion

Bunga dandelion

Ketika untuk sementara waktu saya tinggal di benua Eropa, saya terkesan dengan bunga dandelion. Bukan  karena keindahan atau keharumannya tetapi karena bunga ini membuat saya merenungkan dharma hidup dan pemberian diri.

 

Suatu saat, bahkan sampai saat ini, saya amat menyukai keharuman tanah saat hujan pertama. Saat   rumput-rumput yang tadinya coklat layu, kembali memunculkan pucuk-pucuk daunnya. Rumput tak pernah benar-benar mati. Saat kemarau panjang tampaknya saja ia mati, tetapi akarnya jauh menjalar di dalam tanah. Oleh sentuhan hujan beberapa hari saja, kembali ia akan menghijau. Dan pada saat yang tepat ia akan berbunga. Cantik dalam kebersahajaannya. Itulah filosofi rumput bagi saya, simple humble survival.


Di negeri empat musim, rumput membuat saya lebih terkesima. Pada musim panas ia seakan mati. Pada musim dingin, ketika hampir semua pepohonan kehilangan daun, rumput tetap menghijau subur. Dan nanti rumput akan mengawali musim semi dengan bunganya yang berwarna-warni.

Di mata saya, dandelion bukan bunga rumput yang paling cantik. Tapi jumlahnya paling banyak. Warna kuningnya yang cemerlang mendominasi warna-warna bunga  rumput yang lain. Mungkin ia seperti rakyat jelata, saya salah satunya.

Biji dandelion

Dandelion hanya  mekar untuk sehari dua hari saja. Sesudah itu kelopak bunga mengering begitu pula biji-biji yang terkandung  dibawahnya.  Nanti angin akan menerbangkan biji-biji ini ke segala penjuru. Sebagian biji-biji ini akan terbang jauh dari induknya. Sebagian jatuh ke tanah subur, sebagian jatuh ke tanah gersang, dan sebagian lagi jatuh ke atas padas yang keras. Biji-biji itu tak dapat memilih ke mana angin akan membawanya.

Yang jatuh ke tanah subur, ia akan tumbuh dan berbunga dengan cantiknya. Yang jatuh di tanah gersang, ia akan berbunga tapi tentu tak sebagus yang tumbuh di tanah subur. Yang jatuh di atas padas, seberapa kuat pun daya hidup yang dimiliki rumput, hukum alam tak mengijinkannya untuk hidup berlama-lama.

Mungkin hidup seperti itu. Kita seperti biji-biji dandelion. Saat matang kita semua harus menyebar dari induk yang menetaskannya : orang tua, kampung halaman, tanah air, dunia kampus. Kedewasaan yang sesungguhnya harus dimulai. Biji yang berkualitas baik, jatuh di lahan yang baik dan mendapat pemeliharaan yang baik, akan berbunga dengan sempurna. Inilah kondisi ideal yang diinginkan semua orang.

Dandelion tumbuh di sela batu

Tapi tidak semua dari kita berada dalam kondisi ideal seperti ini.  Ada biji baik yang jatuh ke batu karang. Mungkin ia bisa hidup untuk sehari dua hari lalu mati. Sebaliknya, mungkin ada biji dengan kualitas rendah tapi jatuh ke lahan ideal, maka ia sanggup berbunga dengan baik – bahkan terbaik dalam kapasitasnya.

 

Bukan fatalistik  tapi memang ada hal-hal yang tak bisa kita ubah dalam hidup. Ada “garis nasib dan garis takdir” yang harus dijalani. Pada “garis nasib” inilah kita harus menjalankan dharma – pembaktikan hidup pada peran kita masing-masing. Terlalu sombong kalau saya mengatakan nasib ada dalam tangan saya sendiri. Bagi saya, keberhasilan dalam hidup adalah gabungan synchronicity dan serendipity, usaha yang tekun dan peluang yang jatuh ke tangan kita.

Kita adalah biji-biji itu. Seperti rumput yang memiliki daya hidup yang tinggi dalam segala musim, kita harus tumbuh berkembang. Mungkin kita tidak berada dalam kondisi ideal. Mungkin orang-orang di sekeliling kita sering tidak mendukung kita. Mungkin persaingan di sekitar kita begitu ganas. Tapi kita harus memberi yang terbaik dalam kapasitas kita. Toh nanti kita tidak diukur dengan takaran yang sama. Kita diukur dengan takaran yang unik, yang sesuai dengan kondisi kita masing-masing. masing.

Bunga dandelion

Kita adalah lahan, di mana benih-benih generasi baru berharap untuk bertumpu. Apakah kita lahan subur dan tangan mulia, yang memberi peluang pada benih kualitas baik, kualitas sedang dan kualitas buruk untuk mampu mempersembahkan hasil maksimal mereka bagi peradaban kemanusiaan? Apakah kita batu padas yang siap menghancurkan benih yang paling baik, yang pernah lahir di tengah masyarakat ?

Artikel terkait :

Dandelion flower, symbol and the meaning

Some images of serenity prayer

Serenity prayer

 

 

Reader’s story: two choices in life « Paulo Coelho’s Blog

Reader’s story: two choices in life « Paulo Coelho’s Blog.

sent to me by Dr. Proja

Dr. Pooja

There are always two choices in life, either put up with the conditions as they are, or take the responsibility to change them.

It happened one fine day when I was at my father’s clinic attending to his patients whilst he was out of town. A lady named Saraswati came with her one year old daughter. The baby was burning with fever, when I took her temperature I realized it was at 103. I scolded the lady for not bringing her baby in any earlier. The lady started crying, saying she did not have the money for the doctor’s fees and medication (I didn’t pay much attention to this since this is a very common occurrence at my father’s clinic).
Saraswati then told me her story. She had got married three years ago; her parents paid a dowry of 10,000 rupees. However, her husband ran away with the money and leaving her pregnant. Saraswati returned to her home and took on the job of a servant. Her husband’s family did not care about whether her daughter was sick or well since she was a girl.

After telling me her story, Saraswati left. I did not charge her, but I knew that this would not solve her problem. I thought about Saraswati all night and wondered what could be done to help these illiterate, cheated and downtrodden women.

Then the next day I received a call from my aunty who needed a housemaid for her daugher-in-law who had just had twins. I felt as if God had showed me a way to help Saraswati.
I recommended her to my aunty. My aunty gave Saraswati a good income and a good home to live in.

After a few days she came with her sister who was educated and was looking to become independent like her sister. I recommended her to one of my friends for a receptionist’s position. From this came the idea of NAARI, an organization for making women self-dependant.

Setting up NAARI was not an easy task, since there are so many legal formalities for female organizations. I was very young and all alone, so I dropped the idea. And then one sunny morning when I was having coffee a group of women came to my house (guided by the ever so dear Saraswati of course).

Everybody had a common story, cheated, exploited and dowry victims.
I recommended nine of these women to domestic maid jobs.
Now these ladies are independent and all eleven of them are working hard to live a respectable life. I may have not been successful in giving them an organization but when one day Saraswati came to my home with a box of sweets because she had got admission for her daughter at a nearby school, she fell to my feet and said : you have given my daughter and I a respectable living, may God give you much success.

I realized I had done nothing I just showed them a way – a way to self-respect and thereafter, all eleven of them continued this tough journey themselves.

Kenikmatan Sebatas Lidah

Konsekuansi saya sebagai perempuan yang bekerja di sektor publik adalah, saya tak mampu mengerjakan banyak pekerjaan rumah tangga. Pergi pagi pulang petang adalah ritual yang harus dijalani setiap harinya. Maka untuk membantu saya mengerjakan pekerjaan domestik itu, saya minta tolong tetangga. Ia seorang wanita paruh baya yang tak banyak lagi direpotkan oleh urusan anak-anaknya, karena hampir semuanya sudah remaja atau menginjak dewasa.

Pagi hari saya menitipkan kunci rumah, dan nanti sekitar jam 10 atau 11 siang ia akan datang membereskan rumah saya, menyapu, mencuci, mengepel, memasak dan lain-lain. Tapi suatu saat ia rutin datang pagi-pagi. Sekali kagi saya katakana bahwa ia tak perlu bergegas pagi-pagi ke rumah saya. Yang penting sekitar jam 1 atau jam dua siang saat penghuni rumah mulai pulang, sudah ada makanan di meja. Pekerjaan rumah yang lain boleh dikerjakan dengan santai. “Urus dulu suamimu dan pekerjaan rumah tanggamu, “ begitu selalu saya tekankan padanya. Suami wanita ini seorang pekerja bangunan, yang kadang pergi ke luar kota, sehingga si ibu harus menyiapkan bekal makan siangnya.

“Mulai sekarang  pekerjaan rumah diambil alih oleh mantu saya Bu, “ jawabnya. Wah ia sungguh beruntung. Tapi sejenak pikiran usil mampir ke kepala saya. Saya pun melemparkan pertanyaan iseng, apakah menantunya rajin, sopan, pintar masak, dsb. dsb. Sungguh ini hanya pertanyaan usil yang didasari pandangan rasial bahwa gadis dari suku tertentu sering diasumsikan pemalas, tidak sopan, tidak bisa masak, cuma pinter berdandan. Meski saya sering menganggap diri saya seorang yang egaliter, tapi secara tanpa sadar saya ternyata masih menganggap bahwa “suku”, “kelompok” atau “inner group” saya lebih unggul dari kelompok lain.

Jawaban wanita ini sungguh menohok kesombongan saya. “Bu, rasa enak itu kan cuma dirasakan sebatas lidah. Lewat dari lidah yang cuma setengah jengkal itu makanan apapun tak lagi berasa.” Skak mat untuk saya.  Saya terdiam. Perempuan ini dari segi pendidikan dan pengalaman hidup lebih rendah dari saya. Tapi ternyata kebijaksanaan hidup tidak selalu bergantung dari pendidikan yang tinggi, bahasa yang sempurna grammarnya dan tata etika yang jangkep. Apa boleh buat wanita sederhana ini mengajarkan pada saya bahwa kebijaksanaan hidup ternyata terletak pada hati yang  ikhlas untuk menerima perbedaan dan menerima orang lain apa adanya.

Ginekolog Sindrom

Ginekolog sindrom, konon adalah suatu trauma psikologis yang dialami oleh perempuan pascamelahirkan. Trauma ini ditengarai oleh timbulnya rasa sungkan, malu atau sejenis  rasa tidak nyaman lainnya bila bertemu dokter kandungannya. Penyebabnya tentu saja karena daerah rahasia itu dilihat oleh lelaki yang bukan suaminya. Se-ilmiah apapun alasanya pasti rasa tidak nyaman itu akan muncul.

Konteks psikologis semacam ini rupanya yang menghinggapi kami berdua : saya dan “mantan sahabat” saya saat ini. Tidak secara fisikal pasti. Pada suatu  ketika dulu kami pernah  hidup di perantuan sebagai mahaiswa asing, jauh dari segala support system, apakah itu bernama keluarga, profesi, status sosial, dll. Karena berasal dari negara yang sama dan beberapa kesamaan latar belakang lainnya kami menjadi karib. Sebagai sahabat tentu saja banyak hal yang sangat personal sering kami sharingkan.

Bolehkan dikatakan relasi pertemanan kami saat itu mencapai apa yang disebut sebagai intimacy level. Hmm….jangan cepat-cepat menerjemahkan kata ini ke dalam bahasa Indonesia yang salah kaprah, yang sering mendeskripsikan kata intimacy ke dalam konotasi miring. Dalam bahasa Inggris kata ini berarti sangat positif kok. Intinya kami aling mengerti dan memahami wilayah batiniah masing-masing.

Ya, bagi saya relasi itu terjadi dalam tiga tahapan, kenalan, teman dan sahabat. Saya akan membuat analogi. Saya ibaratkan hati manusia itu sebagai sebuah rumah. Kenalan adalah orang yang tiap hari lewat di jalanan depan rumah kita. Kita tahu namanya, hafal wajahnya, bahkan juga mungkin tahu alamat rumahnya. Tapi baik dari pihak kita maupun orang itu tak pernah berniat meningkatkan kualitas hubungan. Relasi sebatas saling senyum, mengangguk dan bertanya dari mana mau ke mana. Tak ingin tahu lebih banyak dari itu.

Sementara teman adalah tingkatan selanjutnya dari seseorang yang saya sebut kenalan. Ini adalah kelompok orang yang saya izinkan berkunjung ke rumah saya.  “Tapi jangan jauh-jauh, silahkan duduk manis  di ruang tamu saja.., “ begitu saya memberi alarm pada orang-orang ini, sehingga relasi akan terjadi dalam tingkatan yang formal, santun dan bisa jadi basa-basi. Kita hanya saling tahu tentang kepribadian masing-masing dari kulit luarnya saja. Bolehlah saya mengaku bahwa dalam hidup saya orang dari level relasi semacam ini yang lebih banyak saya miliki.  Dasarnya saya ini juga bukan orang yang suka buka-bukaan masalah pribadi dengan banyak orang.

Sahabat sekarang. Ini adalah sekelompok (kecil) orang yang boleh masuk ke segenap penjuru rumah saya, kapan saja. “Feel like a home….” Itu isyarat yang saya sampaikan kepada orang-orang ini. Dalam tataran relasi persabatan ini dua pihak merasa menjadi dirinya sendiri. Tanpa basa-basi. Watak asli kita yang paling buruk sekalipun tetap dipahami. Tentu seorang sabahat bukan orang yang menganggap saya paling benar. Seorang sahabat tidak pernah membiarkan sahabatnya terjerumus dalam sikap dan tindakan yang ngawur. Sahabat saya tahu bagaimana caranya mengritik saya tanpa membuat saya marah. Sepahit apapun kritik yang disampaikan sahabat, saya percaya bahawa itu adalah demi kebaikan saya dan orang banyak, tapa ada udang di balik batu misalnya untuk menjatuhkan saya. Hal inilah yang saya maksudkan sebagai intimacy level dalam relasi. Kuncinya satu yaitu kepercayaan. Dua pihak mengakui vulnerability “kerapuhan” masing-masing dan menyandarkannya pada sahabatnya.

Kembali ke kasus saya tadi. Pada akhirnya kami pulang ke Indonesia dan suntuk dengan profesi masing-masing. Saya kembali menjadi ordinary people di sebuah kota kecil di pulau Sumatera. Ia disibukkan oleh “jabatan publik”-nya di pusat pulau Jawa. Sesekali kami berbincang on line. Tetapi makin lama juga makin jarang. Bahkan pada akhirnya saya merasa ada keanehan di antara kami. Beberapa kali dia cepat-cepat mematikan chat box-nya kalau secara kebetulan saya meng-on- kannya.

Sekali waktu ketika seorang teman sekolah kami dari luar negeri ingin berkunjung ke Indonesia. Lewat email saya minta ia menjadi tuan rumah, sebab di kota saya ini apalah yang bisa saya pamerkan. Saya katakan bahwa jika teman kami datang di kotanya, saya juga akan datang, sehingga kami bisa mengadakan reuni kecil. Pada saya ia menanggapi dengan baik dan menyatakan sanggup. Tetapi  ternyata kepada teman kami  ia menolaknya meski itu dikatakan dengan bahasa yang sangat halus dan berbelit. Pada saat itu saya sadar bahwa ia tidak lagi menjadi intimacy friend tetapi hanyalah aquintance, dari sahabat berubah menjadi sekedar teman atau kenalan saja. Dari perbincangan yang biasanya personal menjadi formal bahkan diplomatis – yang setiap kata harus kita tafsirkan sendiri apa makna sebenarnya di belakang itu.

Apakah dia terhinggapi gynecologist syndrome, karena saya tahu banyak tentang innerself-nya (sebaliknya ia juga tahu saya). Sementara sekarang ini,  jabatan publiknya membuatnya harus menjaga citra berwibawa, bersih dan “tabularasa’. Kalau saya berprasangka begitu, kok salah juga ya. Apakah jabatan public seseorang harus menghilangkan the ability to express and accept intimacy from and to others? – saya bertanya pada batin saya sendiri.

Saya  merasa kehilangan tentu saja, tetapi tak dapat berbuat apa-apa, kecuali berusaha memandang hal itu dari segi positif saja. Hidup bukan pasar malam. Kita tidak datang bersama-sama untuk sebuah hura-hura dan nanti pulang bersama-sama pula. Saya sedih bahwa relasi kami “turun” pangkat, tapi saya tak pernah menyesal telah membangun a human intimacy relationship. Setiap intimacy akan memberi rasa pahit ketika berpisah.  Urip mung mampir dolan. Hidup ini cuma mampir “keluyuran”, kita ketemu di sepotong perjalanan, membangun relasi  dan berpisah di persimpangan, sebab setiap orang punya tujuannya masing-masing. We have our own trajectory. Let people come, stay or go out from my life, and  I am remain OK. Letting be – letting go – we move on.

Artikel terkait :

Friendship ….and Relationship

After A Woman’s Day

A man was sick and tired of going to work every day while his wife stayed home. And further jealous of her, as he received lot of Woman’s Day wishes and compliments, he wanted her to see what he went through, so he prayed:

“Dear Lord, I go to work every day and put in 8 hours while my wife stays at home. I want her to know what I go to through. So, please allow her body to switch with mine for a day. Amen!”

POOFFF!!!  God, in His/Her infinite wisdom, granted the man’s wish.

The next morning, sure enough, the man awoke as a woman. He arose, cooked breakfast for his mate, and awakened the kids.

Set out their school clothes, fed them breakfast, packed their lunches, and drove them to school.

Came home and picked up the dry cleaning, took it to the cleaners and stopped at the bank to make a deposit, went grocery shopping, then drove home to put away the groceries,  paid the bills and balanced the check book….He cleaned the cat’s litter box and bathed the dog.

Then it was already 1.00 pm, he hurried to make the beds…do the laundry…vacuum, dust, and sweep and mop the kitchen floor…..

Ran to the school to pick up the kids and got into an argument with them on the way home. Set out milk and cookies and… got the kids organized to do their homework.

Then set up the ironing board and watched TV while he did the ironing. At 4.30 PP he began preparing the dinner, cooking rice, washing vegetables, rolled meatballs… Then bathed the kids.

After dinner, he cleaned the kitchen, ran the dishwasher…folded laundry, put the kids to the beds.

At 9.00 pm, he was exhausted and, though his daily chores weren’t finished, he went to bed where he was expected to make love, which he managed to get through without complaint.

The next morning, he awoke and immediately knelt by the bed and said: “Lord, I don’t know what I was thinking. I was so wrong to envy my wife’s being able to stay home all day. Please, oh, oh, please, let us trade back. Amen!!!” The Lord, in His/Her infinite wisdom replied: “My son, I feel you have learned your lesson and I will be happy to change things back to the way they were. You’ll just have to wait nine months, though. You got pregnant last night.”

Pass this on to your lady friends to remind them how fantastic they are….pass it on to males you know. Sometimes they need to be reminded..!!!

Now…. This is the serious one, please open the file below : Woman Excelente

download WOMEN_Excelente