Ia seperti gembala sesungguhnya. Lereng dan lembah Bukit Barisan dijelajah. Menghilir Sungai Tulangbawang, dan menyisir jalan-jalan berlumpur di pedesaan translok biasa dilakoninya. Segala cara ditempuh, naik mobil, membonceng ojek, bahkan berjalan kaki selama berjam-jam. Energinya tak pernah surut untuk menemui umat yang dipercayakan dalam reksa pastoralnya.
Menemui dan berdialog dengan umat di stasi, itulah salah satu sumber energi kegembiraan almarhum Mgr. Henrisoesanta. Antara tahun 1995 – 1999 ia sangat intensif mengadakan visitasi pastoral. Berangkat dari Bandarlampung Jumat sore dan kembali pada Senin atau Selasa, bergantung dari jauh dekatnya dan sedikit atau banyak kelompok yang harus dikunjunginya.
Tema dialog dengan kelompok umat bisa beragam, tentang visi dasar pastoral Keuskupan Tanjungkarang, katekese, sosial politik ekonomi, sampai masalah ringan misalnya tentang muda-mudi yang “loncat pagar”. Ia selalu mencatat pertanyaan-pertanyaan umat itu dalam buku tulis tebal, yang dibawanya dalam setiap kunjungan. Berikut beberapa catatan tentang kunjungan almarhum uskup emeritus itu.
Membonceng Rm. Janto menuju stasi way Kambas, 1997
Jatuh di Suwoh
Sampai 1999 Unit pastoral Liwa merupakan salah satu wilayah dalam keuskupan Tanjungkarang yang medannya cukup berat. Pada bulan September Mgr. Henrisoesanta terjadwal untuk mengunjungi Suwoh, sebuah stasi yang terletak di cekungan pegunungan Bukit Barisan. Mgr. Henri selalu bangga pada stasi ini karena kemandirian umatnya selama sekian tahun ngumbul– merintis perladangan baru – di tempat terpencil tetapi mampu mempertahankan iman tanpa kehadiran pastor.
Saat itu merupakan kunjungan uskup yang kedua ke Suwoh. Lima tahun sebelumnya, 1994, Suwoh merupakan tempat yang cukup parah dilanda gempa tektonik. Desa subur penghasil kopi itu total terisolir. Untuk sampai ke sana orang harus naik helikopter, kuda atau berjalan kaki. Naik motor juga bisa tetapi tidak lebih cepat atau lebih aman, karena jalan tanah sangat buruk dan terputus di beberapa tempat.
Dalam perjalanan yang kedua itu, Mgr. Henri bercerita tentang pengalamannya lima tahun sebelumnya. Bersama rombongan kecil di bawah pimpinan Rm. Vincent le Baron, ia bermaksud mengunjungi Suwoh. Perjalanan paling cepat dapat ditempuh dalam 8 jam. Setelah beberapa jam berjalan kaki, Rm. Baron memaksa Mgr. Henri untuk membonceng motor. Dipanggillah tukang ojek berjuluk Si Teler. “Dia crosser paling handal, Bapa Uskup,” kata Rm. Baron.
Mgr. Henri pasrah. Tetapi apa daya, di tengah perjalanan motor itu jatuh. Mgr. Henri dan si Teler terbanting. Rm. Baron dengan enteng berkometar, “Bapa Uskup, kalau tidak jatuh, belum ke Suwoh namanya.” Mgr. Henri bercerita sambil tertawa, menganggap hal itu sebagai sesuatu yang menggelikan. Mungkin pengalaman itu membuat ia pernah terpikir untuk membelikan seekor kuda untuk Rm. Baron.
Tahun 1999 kondisi jalan sedikit lebih baik, meski belum diaspal, dan tetap rawan longsor. Jam 8 pagi rombongan kecil bapa uskup bertolak dari Sekincau. Tengah hari rombongan tiba di Dusun Sri Mulyo, Suwoh, dan bertemu dengan kelompok umat di sana. Mgr. Henri masih mengingat beberapa perintis jemaat. Ramah ia menyapa, “Panen menapa Pak Bibit ?” Yang disapa menjawab, “ Dereng panen, Monsinyur.” Tanpa senyum Mgr. Henri menimpali, “Lha panjenengan niku asmane Bibit, dados mboten panen-panen.” Orang yang mendengar cakap akrab itu tersenyum.
Malam itu rombongan menginap di rumah umat di Talang Gendung, sebuah tempat yang lebih “mblusuk” dibanding Suwoh. Tempat itu masih bisa dicapai dengan mobil tapi jauh lebih lambat daripada dengan sepeda motor atau kuda. Mgr. Henri memilih membonceng motor. Desa umbulan itu berpenghuni 25 keluarga dan hanya 5 keluarga yang Katolik.
Malam hari selepas misa, penduduk non-Katolik ikut makan malam bersama dan berdialog dengan uskup. Mereka bercerita tentang bagaimana mereka merawat instalasi air bersih sederhana yang beberapa tahun sebelumnya dibangun bersama Rm. Baron. Mereka bertanya, bagaimana pandangan uskup tentang kepemimpinan perempuan dalam politik bernegara, dan berbagai masalah sosial lain.
Memasyarakat dan Loncat Pagar
Antara tahun 1995 – 1999 seluruh paroki / unit pastoral di Keuskupan Tanjungkarang mendapat jatah kunjungan Mgr. Henri . Diawali tahun 1995 kunjungan kepada kaum muda dan tahun 1997 kunjungan kepada keluarga. Dilanjutkan tahun 1998 kepada kaum muda dan tahun 1999 kepada keluarga lagi. Tahun 2000 tidak ada kunjungan kepada kelompok umat karena kegiatan lebih terfokus kepada perayaan Tahun Yubileum Agung.
Bisa dikatakan penghujung dekade 90-an itu merupakan tahun-tahun yang sarat dengan permasalahan politik. Orde Baru sangat kuat menancapkan kuku kekuasaannya dan pada 1998 KWI mengeluarkan Surat Gembala KWI, yang bagi sebagian orang dinilai sangat berani bahkan kontroversial. Maka dalam dialog umat dengan Mgr. Henri permasalahan politik dan sosial sangat sering mengemuka. Misalnya, bagaimana menyikapi tekanan pemerintah tentang adanya target pemenangan pemilu sementara Gereja memberi arahan agar orang Katolik selalu berpedoman pada hati nurani dan kebenaran.
Menghadapi hal-hal semacam itu Mgr. Henri tak jemu-jemunya mengingatkan umat Katolik untuk melaksanakan hasil-hasil Perpas Gelar II yang dilaksanakan tahun 1992. Dalam peristiwa itu dihasilkan lima butir kesepakatan yaitu paradigma baru, dialog, keterbukaan, memasyarakat dan nilai penebusan atau semina verbi. Memasyarakat menjadi butir penting untuk berperan serta dalam aktivitas bernegara.
Menanggapi penjelasan Mgr. Henri, seorang pemuda di suatu stasi berkata, “Kami orang muda sudah memasyarakat, tapi hasilnya malah justru banyak yang murtad.” Anak muda lain yang menimpali, bagaimana mereka akan memasyarakat, jika di antara mereka sendiri tidak kompak. Ada juga yang merasa pesimis, “Bagaimana kami mau memasyarakat jika baru keluar saja sudah disindir dengan kata-kata nylekit.”
Kepada mereka Mgr. Henri selalu memberi dorongan agar tetap membaur, ambil bagian dalam bidang ilmu, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan pertahanan (ipoleksosbudhankam), karena itulah bidang panggilan khas kaum awam. “Masuklah KNPI, Pemuda Pansasila, FKPPI dan berbagai ormas lain atau organisasi politik,” kata Mgr. Henri selalu. Ia tidak menolak bahwa ada tantangan. Tapi di situlah justru kaum muda Katolik diharapkan menjadi garam atau matahari. “Iman Katolik itu seperti matahari, menerangi tanpa memilih-milih.”
Di luar politik, salah satu hal yang banyak dibicarakan umat adalah tentang kawin campur atau bahkan anak muda Katolik meninggalkan imannya. Tidak peduli orang tua atau orang muda sering membicarakan hal ini kepada Mgr. Henri. Menurut almarhum uskup emeritus itu, dalam kawin campur berarti seseorang membawa duri dalam daging, atau menyimpan potensi konflik dalam perkawinan mereka. Salah satu solusi yang ditawarkannya adalah memasyarakat.
“Memasyarakatlah, mungkin nanti kalian bisa ketemu jodoh, eh…ada seorang Katolik yang menarik di sana. Juga dengan bergaul dengan banyak orang kalian akan tahu perbedaan mendasar dengan mereka dan iman kalian bertambah kuat.” Memang betul Gereja bisa memberi dispensasi terhadap perkawinan campur. Tapi dispensasi hanyalah kelonggaran hukum yang tidak bisa menjamin iman Katolik seseorang akan berkembang dan berbuah.
Beberapa orang tua mengenang masa keemasan RKPK sekitar tahun 1980-an di mana kaum muda Katolik aktif dalam berbagai kegiatan olah raga dan seni antarmereka sendiri. “Banyak pemuda dan pemudi Katolik ketemu jodoh di acara itu,” kata mereka. Beberapa dari mereka mempertanyakan kepada Mgr. Henri apakah mungkin acara-acara seperti itu dapat dilaksanakan lagi.
Tetapi menurut Mgr. Henri saat itu (tahun 1990-an) sudah tidak tepat lagi hidup secara eksklusif seperti itu. “Tidak ada sepak bola Katolik, tidak ada duwit Katolik,” kata uskup. Membaur, hidup inklusif, ambil bagian dalam setiap aktivitas bernegara, membangun persaudaraan sejati dengan semua orang, itulah hal penting yang ingin ditekankan Mgr. Henri dalam butir memasyarakat yang dihasilkan oleh Perpas Gelar II.
Adakalanya perbincangan dengan kelompok keluarga bukanlah hal-hal yang berat-berat, tetapi hal-hal praktis menyangkut kehidupan sehari—hari mereka misalnya tentang sulitnya izin mendirikan atau merehab kapel atau pendidikan agama anak-anak. Bahkan di stasi pedesaan ada pertanyaan yang unik, misalnya bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang inseminasi buatan. Sebisa mungkin Mgr. Henri menjawab dengan kalimat sederhana tapi mengena.
Tak Pernah Menolak
Mgr. Henrisoesanta sering dikesankan sebagai seseorang yang tegas, kaku, mahal senyum. Sebenarnya kalau kita sudah mendekat, ia tidaklah seseram itu. Hidupnya sangat teratur memang. Segala aktivitasnya seakan terjadwal. Tubuhnya seperti punya alarm alami, jam berapa bangun pagi, berdoa, makan, minum, bekerja dan istirahat. Tetapi dalam kunjungan ke stasi-stasi jadwal rutin bisa saja berubah demi bertemu umat.
Di rumahnya, Mgr. Henri bekerja sampai jam 1 siang, lalu makan, dan beristirahat. Jam 4 sore mulai bekerja lagi atau menerima tamu-tamu, diawali dengan berdoa. Jam 11 malam biasanya ia akan beristirat. Dalam kunjungan ke stasi-stasi tak ada istirahat siang. Pertemuan dimulai pagi hari dan terus berlanjut sampai malam. Selama itu nyaris tak ada keluhan kesehatan atau kelelahan.
Uniknya, jam berapapun ia berangkat tidur, tetap saja ia bangun saat subuh. Dalam suatu rangkaian kunjungan ke Mesuji, rombongan uskup emeritus baru pulang ke pastoran jam 11 malam. Jalanan buruk, dan mobil pastoran Mesuji rewel di jalan.
Sesampai pastoran belasan umat sudah menunggu. Keluarga koster mengatakan bahwa mereka bersikeras untuk bertemu uskup dan tidak mau disuruh pulang. “Baik, saya akan temui mereka sebentar,” kata Mgr. Henri. Tidak ada rasa jengkel terpancar di wajahnya. Ternyata pembicaraan tidak bisa sebentar. Sekitar jam satu malam, Mgr. Henri baru bisa beristirahat.
Keesokan paginya, anggota rombongan kecil kami sengaja bangun agak siang, karena tidak ada jadwal pertemuan lagi. Sekitar jam 7.30 pastor kepala Unit Pastoral Mesuji, Rm. Suhendri, membangunkan tiap orang dan mengajak sarapan. Mgr. Henri tidak ada di kamarnya. Ditunggu di ruang makan, akhirnya ia muncul dari gereja di samping pastoran. “Saya bangun subuh tadi dan berdoa di gereja. Saya pikir kalian akan menyusul. Ternyata tidak, maka saya misa sendiri.” Kami yang hadir di ruang makan hanya membalas dengan, “Hahahaha… .” Ia tidak dingin dan kaku seperti yang diduga banyak orang.
Beristirahatlah sekarang dalam bahagia kekal Bapa Uskup Henrisoesanta. Kami akan bekerja meneruskan apa yang telah engkau awali dengan sangat baik. ***