MLEBUNE METU NGENDI ? – WONG NDESO NONTON CASINO Genting Highland

“Mlebune metu ngendi .. , ”  kalimat tanya orang Jawa selalu yang menimbulkan senyum. Masuknya keluar dari mana, begitu kalau diterjemahkan secara harafiah. Ini konteks dua bahasa yang berbeda. Terjemahan yang tepat adalah “masuknya dari mana”. Tapi kalimat tanya itu bisa jadi adalah ekspresi kebingungan seseorang. Dan orang itu adalah aku, saat berada di tempat yang tak tepat : gegar budaya.

Genting highland, Pahang, jauh dari daftar antrian tempat yang ingin kukunjungi. Bukan tak yakin bahwa tempat itu indah dan menarik.  Cuma, rasanya, itu bukan habitatku. . Meski ada banyak sarana hiburan,  Genting terkenal dengan kasinonya. Kalau cuma udara sejuk, nge-mall, wahana permainan keluarga, hutan, dsb , itu bisa ditemukan di berbagai tempat lain, dan hampir sama saja.

Sementara sampai saat ini, aku lebih suka berinteraksi dengan alam, manusia dan budayanya yang unik, yang bisa jadi sangat berbeda dengan yang kuhayati. Nah! Ternyata aku salah kali ini ! Di Genting kudapatkan pengalaman unik. Alam yang indah dengan hawa sejuk, kebiasaan – kalau tak boleh disebut budaya –  yang sangat berbeda dengan keseharianku , dan menikmati kejutan-kejutan  gegar budaya. dan itu bisa kunikmati sambil ketawa-ketawa. Oooo.. dasar ndeso!!

Pengalaman ke Genting bermula dari ajakan travelmate-ku. “Ada promo di First World Resort. Cheeep, cheeep. Ayooo,” katanya. Kami jalan sendiri-sendiri dan berjanji bertemu di KLIA. Tetapi  tragedi penjemputan (aku mendarat di KLIA dia ngampiri di KLIA2), ditambah lagi harus mengantar kerabat ke Shah Alam, membuat menjelang tengah malamkami  baru mencapai Genting. Tapi kelelahan fisik dan hati terbayar oleh keindahan alam. Jalan berkelok-kelok,  gemerlap resor-resor terlihat di ketinggian.  Kereta gantung, perlahan bersliweran dengan  lampunya yang redup menghias langit malam. Kami akan ke sana.

Setelah memarkir mobil di basement lantai 6, terlihat sebuah pintu besi. Tanpa pikir panjang kami masuk. Kami pikir itu semacam pintu belakang bangunan ini, kalau naik sedikit kami sudah akan mencapai lobi. Ternyata eh ternyata, kami harus terus naik entah berapa tingkat lagi ke atas. Lalu kesasar ke dapur pastry. Baru di situ ketemu orang yang bisa ditanya. Mestinya tadi kami cari lift. Ooh… bego juga kami nii…!!

Gegar budaya belum selesai. Ada beberapa mesin check in otomatis di ruang lobi. Hanya ada sekitar 4 pegawai di resepsionis. Tamu-tamu ada banyak; yang baru datang, yang duduk saja, yang foto-foto, bersliweran entah apa yang dikerjakan. Lampu redup, di teras malah pohon-pohon atrifisial dihias dengan lampu warna-warni kerlap -kerlip. Itu membuat siang atau malam tak ada bedanya di sini. Kulihat travelmate-ku agak kesulitan juga dengan mesin check in otomatis. Ah, percuma toh kalau kutolong. Aku lebih gaptek lagi. Jadi lebih baik aku duduk saja. Akhirnya dari mesin sialan itu keluar juga sepotong kartu sebesar kartu kredit yang harus kami pakai untuk membuka pintu kamar dan nanti dimasukkan lagi ke mesin ini untuk check out.

Tragedi selanjutnya terjadi  di depan pintu kamar. Kartu itu kami masukkan ke slot yang ada di pintu. Setelah nyala biru muncul segera kami putar grendel pintu. Ooops.. sialan, berkali-kali begitu, tak terbuka juga pintu itu. Harus ditendangkah? Ya, aku dhewe sing bakal kejengkang… .

Selanjutnya “Aku turun ya, mau nanya pegawai di lobi tadi.  Kamu di sini saja, “ katanya. Ternyata, kartu tadi cukup di-scan saja. Tak perlu dimasukkan ke dalam slot. Kalau lampu biru sudah menyala segera buka grendel. Oh… bukan salah kami toh? Biasanya kalau ada lubang slot, ya kartu di pasang di situ, dan baru dicabut kalau pintu sudah terbuka. Ampyuuun!!!

Las Vegas-nya Malaysia

Kata orang, Genting ini Las Vegasnya Malaysia. Segala aktivitas judi tersedia. Jaraknya hanya 1 ½ jam dari Kuala lumpur tapi jika kita masuk ke dalam resor ini suasananya amat berbeda. Serasa di Hongkong atau tempat manalah di daratan China sana.  Pegawai resor ini pun kebanyakan dari etnis Chinese, ada juga sedikit etnis India, ehm.. ketemu satu atau dua tadi perempuan bertudung di gerai makanan. Para tetamu pun begitu, hampir semua etnis Chinese.

Sampai lima puluh tahun yang lampau Genting hanyalah tanah kosong yang dibeli oleh Lim Goh Tong untuk membangun mimpinya:  sebuah pusat hiburan di tempat berudara sejuk dan tidak jauh dari pusat kota. Pada awalnya banyak yang pesimis, tetapi ternyata insting bisnisnya amat baik. Sekarang Genting Highland menjadi salah satu tempat wisata terbaik Malaysia dan tentunya mendatangkan devisa yang besar. Tak terbilang resor dan tempat hiburan berdiri di sini.  Judi hanya salah satunya. Ada banyak aktivitas wisata lainnya sebenarnya.

Meski dikenal sebagai negara Islam tapi judi dilegalkan di sini. Ketika sarapan, kulihat 6 orang polisi berbaris berbanjar dua di ruang lobi. Pastilah lengkap dengan senjatanya. Harap maklum,  karena ini pusat judi perputaran uang cash sangat deras. Kata travelmateku, orang-orang dari China daratan banyak mengunjungi tempat ini, membawa segepok uang kontan, berjudi dan bersenang-senang di sini.

“Negara mereka masih menganut sistem ekonomi komunis sosialis, sementara bisnis mereka berkembang.” Dengan kata lain, banyak OKB – orang kaya baru – di sana. Dengan sistem ekonomi sosialis macam itu, mereka tak percaya pada bank yang diawasi oleh pemerintah. Kebijakan ekonomi bisa saja setiap saat merugikan mereka. Jadi lebih baik mereka menyimpan uang cash, di bawah kasur. Mereka bisa setiap saat bersenang-senang menghibur diri  di luar negeri.

Mungkin cerita ini sebuah kebenaran. Sepanjang perjalananku di Vietnam, aku selalu menjumpai orang –orang Chinese di banyak tempat. Biasanya mereka datang  dalam rombongan besar. Biarpun sama-sama berkulit putih dan bermata sipit, aku bisa membedakan mereka dengan orang Korea atau Jepang. Orang-orang China daratan biasanya akan teriak-teriak, seolah bicara dengan orang selapangan. Karena mereka datang berombongan atau mungkin karena faktor bahasa, mereka terlihat eksklusif. Ada juga perkecualiannya.

Di Genting ini, setidaknya yang kulihat di First World Resort, orang-orang dari China daratan ini datang dalam rombongan-rombongan besar juga. Kebanyakan usianya 40-an tahun ke atas.  Sebagian terlihat renta, berjalan memakai tongkat, bahkan ada yang duduk di kursi roda. Kadang dipandu oleh sesorang tur-guide dengan tongkat berujung bendera kecil menjulang ke atas. Seperti tongkat Musa. Gelombang kedatangan mereka tak terputus, 24 jam terus menerus. Ada lebih 3000 kamar di sini.

Banyak  yang terlihat familiar dengan tempat ini. Berjalan santai menyeberangi hall menuju kasino. Bagi sebagian besar orang, memang itu tujuan mereka. Sesudah sarapan, kami coba ikuti mereka. Cita-cita semula, “Bolehlah kita satu atau dua slot main di kasino….”  Haha.. cita-cita yang tak kesampian. Kami terlalu ndeso untuk terlibat dalam aneka permainan di sana. Akhirnya ya hanya putar-putar dari satu meja ke meja yang lain, menonton bagaimana para opa dan oma, OKB (oh sorry, not in the negative sense-lah) dari China daratan itu menghamburkan recehannya. Untung mereka begitu asyik terlarut dalam permainan dan tak peduli dengan dua makhluk asing yang mengintip dari balik punggung mereka. Petugas juga tak peduli dengan kehadiran kami, meski mereka cukup awas. Terbukti ketika aku mengeluarkan kamera saku, salah satu mendekati. “No, picture please,” dingin, tegas. Satu jepretan terlanjut lolos. Untung itu tak diminta untuk dihapus.

Kami keluar. Kembali ke parkiran di basement, mencoba melihat pemandangan dari ketinggian. Genting berkabut tebal sepanjang hari itu, diseling gerimis tipis. Jadi tak banyak yang bisa dilihat. Setelah putar-putar mall dan food court (yang terasa sepi), kami putuskan untuk mengunjungi Chin Swee Temple, sebuah tempat peribadatan yang dibangun oleh dato’ Lim Goh Tong dan teman-teman bsinisnya yang berasal dari Provinsi Fujian pada 1975.

Cara satu-satunya menuju ke sana dari resor ini ya naik kereta gantung, Awana Skyway. Tidak tahu stasion berada di lantai berapa. Pokoknya aku keukeuh pada prinsip, “Lu pigi  mana, gua ikut aja.” Travelmateku  tahu betul  itu. Aku  sering disorientasi kalau pergi-pergi. Sebenarnya mungkin tidak sebodoh itu juga sih. Aku bisa backpacking ke mana-mana sendiri. Alhamdullilah, aman kok. Dulu sebelum ada google map, aku biasa bawa kompas dan peta (wuih… pramuka banget) dan memperhatikan gedung, pengkolan, pohon, dsb sebagai penanda. Tapi kalau ada temannya, aku cenderung  malas berpikir. Eman-eman, aku milih ngepenakke awak, hehehe…

Kami membeli tiket terusan yang harus dipindai setiap  masuk stasiun demi stasiun. “Ini tiketmu, jangan sampai hilang atau kau tak bisa pulang,” ancam si travelmate. Dia nyelonong berjalan duluan. Baru beberapa langkah, “Sinih  tiketmu, aku aja yang bawa. Kalau hilang, aku lagi yang repot.” Lantas dia mengungkit-ungkit kisruhnya titik pertemuan kami di bandara kemarin. “Lho… kan, kamu juga yang salah baca tiketku…” Dia  ketawa, takut membuka front pertempuran lagi.

 

 

 

 

 

2 thoughts on “MLEBUNE METU NGENDI ? – WONG NDESO NONTON CASINO Genting Highland

Silakan tulis komentar