~MAMPIR MÛI NÉ ~ 

Jadi juga aku ke Mui ne (dibaca Mu Né). Biasanya aku tak terlalu suka laut, pantai, panas sengangar matahari membakar perkampungan nelayan. Kali ini mungkin karena aku tak mau lagi berlama-lama terjebak dalam hiruk pikuk Saigon. Mungkin juga karena penasaran.

Begitu banyak informasi dengan kata kunci Mui ne, yang langsung merujuk wisata red and white sand dunes. Bisa pilih sun set atau sunrise. Kata para blogger itu, keduanya merupakan mini padang pasir, yang istimewa, yang tak dinyana ada Vietnam, yang serasa gimana… Tetapi juga harus hati-hati : Scam. Ini bentuknya lainlah, bukan pemaksaan langsung yang kasar, tapi sama menjebak. Nanti kuceritakan.

Jam 7 pagi aku sudah siap di halaman Trung Cang Hotel. Kantor agen travel Sinh Tourist numpang di halamannya. Bus yang janjinya berangkat jam 7.30 molor sekitar setengah jam kemudian. Harga tiketnya 120.000 VND. Thuy, induk semangku di Dalat menawarkan tiket lebih murah, 100 VND, tapi tidak kuambil. Intuisiku tepat. Fibiie, mahasiswi Malaysia yang sehari sebelumnya bersamaku dalam tur countryside Dalat, ambil tiket itu. Menjelang tengah hari kukontak dia dan ternyata dia belum sampai Mui Ne. “Ini bus tua,” katanya. Busku bagus.

Ada perbaikan jalan, sekitar 2 jam sesudah bus meninggalkan Dalat. Macet di situ cukup lama. Waduh, ingin aku minta waktu sebentar ke pak sopir, buat pipis. Embuh, di balik semak pinggir jalan juga nggak apa. Dingin AC membuat aku beser. Selebihnya jalanan lancar. Aspalnya mulus. Jalan berkelok-kelok indah menuruni kawasan pegunungan Lam Dong yang dipenuhi hutan pinus. Hanya aku agak heran, kenapa bus ini hampir tak pernah berpapasan dengan bus lain ? Hampir tak menemukan desa dan kota pula sepanjang 4 jam perjalanan itu. Apakah Sinh tourist menempuh jalur tersendiri, agar mata para turist dimanjakan dengan pemandangan pegunungan ini ? Bersamaku ada rombongan besar turis dari China, tua muda. Wow, benar kabar itu. Bahwa mereka adalah angkatan orang kaya baru karena ekonomi negaranya yang booming.

Jam 12 tengah hari bus berhenti di agen Sinh tourist Mui Ne. Hotel Song Huong yang sudah kupesan cuma terletak di seberangnya. Aku ingin praktis saja, karena aku toh tidak akan berlama-lama di sini. Hotel-hotel terletak hanya di satu jalur jalan Nguyen Dinh Chieu, distrik Ham Tien ini. Meski demikian lokasi agen Sinh tourist terasa sepi. Tumben. Pusat keramaian, maksudku toko-toko, fasilitas ATM, dll terletak pada bagian yang lain dari jalur jalan ini. Ketika hari beranjak sore, jalur jalan ini terasa senyap. Lampu-lampu redup. Hanya sedikit kendaraan yang lewat. Tapi karena kali ini aku menyukai ketenangan, suasana di sini sangat mendukung.

Song Huong hotel dikelola dua perempuan muda bersaudara. Yang satu sedang hamil tua, mengelola resto dan yang satu mengelola hotelnya. Ada spa juga di situ. Aku diberi kamar di samping bangunan utama, semacam bedeng yang terdiri dari 3 kamar, dengan pintu menghadap halaman yang luas. Ada teras dengan bangku terbuat dari batu marmer. Galon air minum diletakkan di meja, gratis. Ini bukan hal yang biasa di tempat-tempat wisata begini.

Masih ada waktu bagiku untuk bergabung dengan tur sunset sand dunes. Katanya kami akan dijemput jam 2. Harga tur 5 dolar, sedikit lebih murah daripada di Sihn Tourist yang 149.000 VND. Tapi, nanti dulu…, kepalamu akan diketok palu (+arit… 🙂 )di tempat lain. Secepat kilat aku makan, mandi, ganti baju.

Jeep menjemputku jam 14.30. Sopirnya seorang lelaki gempal, wajahnya lebih mirip Pinoy daripada Vietnamese. Usianya sekitar pertengahan 40-an kukira. Kacamata gelapnya tak dibuka ketika bercakap denganku. Aku tak suka sepasang mata dibaliknya. Cara dia memandang tak membuatku nyaman. Dia menyuruhku duduk di sampingya. Aku orang pertama yang dia jemput.

“Are you Chinese?”
“No, Indonesian. Why.”
“I don’t like Chinese.”

Jab yang makjleb ke ulu hati. Kasar. Terus terang. Rasis. Sambil terus memandang ke depan, ia bercerita. Banyak turis dari China datang ke tempat ini dan mereka sering menipu. Misalnya, mereka membeli kepala muda yang ditawarkan seharga 50.000 VND oleh penduduk lokal. Mereka menawar sangat rendah, 10.000 VND. Harga itu ditolak oleh penjualnya. Lantas si turis sepakat 50.000 VND. Tetapi sesudahnya, mereka membayar 10.000 VND dan langsung ngeloyor pergi. Orang kampung yang menjual kelapa muda melongo tak berdaya. Begitu katanya. Aku diam.

Tak lama berselang, dua gadis Korea bergabung. Lalu juga seorang lelaki Eropa paruh baya didampingi perempuan Vietnam, mungkin usia 30-an. Semula kukira mereka suami isteri, ternyata bukan. Belum lama berjalan, jeep berhenti di muka warung kecil. Ada jembatan sederhana, di atas sebuah aliran sungai kecil. “Fairy stream, 30 minutes,” katanya, dingin.

Kami turun melewati bagian samping warung itu. Pohon-pohon bambu menaungi sungai di bagian bawah jembatan. Yang disebut fairy stream adalah aliran sungai kecil, sedalam mata kaki di atas pasir merah lembut. Para turis berjalan menghulu aliran itu. Ada dinding batu kapur di dekat situ yang bisa jadi spot cantik untuk berfoto. Matahari menjelang senja membuat warna bias warna redup kemerahan.

Tanpa berlama-lama aku dan dua gadis Korea kembali ke jeep. Ada tambahan penumpang. Seorang lelaki tambun berkulit coklat yang disuruh menggantikan aku duduk di samping sopir, dan dua perempuan muda Filipina. Aku duduk di belakang sopir bersama dua gadis Korea. Dua perempuan Filipina dan pasangan mix Vietnam – Eropa itu akan duduk berhadapan di belakang kami. Jadi kami bersembilan. Ditunggu cukup lama, dua orang terakhir itu tak juga muncul. “Did you see them?”, tanya sopir. Akhirnya dia turun mencari kedua orang itu.

Tujuan kami selanjutnya fishing village. “20 minutes,” kata sopir. Sampai tur berakhir aku tak bertanya namanya. Malas juga berakrab-akrab dengannya. Tak ada istimewanya sama sekali tempat ini. Sebuah teluk kecil, turun beberapa meter dari jalan aspal. Di tepi jalan ada bangunan tanpa dinding. Beberapa baskom berisi ikan diletakkan di situ sebagai sampel hasil tangkapan nelayan. Weleh….

Tujuan selanjutnya adalah white sand dunes. Tempat ini agak jauh, mungkin lebih dari 30 menit berkendara. Barisan jeep pengangkut turis berpancu ke tujuan yang sama. Di sini drama scam dimulai. “ Here 50 minutes,” kata si sopir. Jeep diparkir di pangkalan ATV, tak jauh dari danau kecil di tepi jalan. Untuk mencapai bukit pasir kita harus sewa ATV. Tapi harga sewa ATV ini dikendalikan oleh si sopir jeep. Kita tak bisa tawar-menawar langsung dengan sopir ATV. Sopir jeep yang kami tumpangi mematok harga 200.000 VND per orang (gilee…), tak bisa digoyang. Mau segitu, nggak mau ya jalan kakilah sana. Sebenarnya, jeep bisa masuk sampai ke bukit pasir. Tapi ini strategi bagi-bagi rejekilah.

Satu ATV bisa ditumpangi 3 orang, 4 dengan sopir. Kita akan diantar ke bukit pasir dan nanti dijemput. Kelihatannya jauh, karena ATV akan berputar sebentar (ngebut, jadi hati-hati…) lalu mengantar kita ke kaki salah satu bukit pasir. Sebenarnya bukit pasir pertama tidak terlalu jauh dari pangkalan ATV. Kita cukup maju sedikit, belok kiri dan berjalan lurus. Sepatu tinggal saja di jeep. Tapi, kalau harus jalan sendirian yah…. Bukan capeknya sih, tapi ngilunya hati saat lihat orang lain naik ATV berseliweran.

Agak ngos-ngosan juga aku mendaki bukit pasir. Baru terasa usia sudah menanjak. Tapi sampai di atas kepenatan terbayar. Pemandangan sangat bagus. Tekstur pasir sangat halus. Warna putih kecoklatan sangat kontras dengan warna-warni pakaian, warna langit biru yang kemudian berubah kelabu gelap bercampur kuning merah keemasan candik ayu. Dari puncak bukit pasir kita bisa melihat gundukan-gundukan bukit pasir lain di kejauhan. Tak ada tenaga untuk naik turun gundukan, mengarungi hamparan luas itu. Huassyuuu. Kupikir harga 200.000 VND itu untuk bayar tur mengelilingi hamparan padang pasir ini. Rupanya cuma mengantar ke satu gundukan saja.

Aku berjalan ke ujung bukit pasir. Narsis sendirian. Tak terasa hari menjadi gelap. Agak kaget juga ketika tersadar bahwa tak banyak lagi orang di padang pasir luas ini, 20 km memanjang pada garis pantai. Di bukit tempatku berdiri hanya tinggal dua orang laki-laki, agak jauh di depan sana. Aku berjalan ke ujung yang lain. Tiba-tiba angin bertiup amat kencang dari arah samping kiriku. Pasir-pasir beterbangan, masuk telinga, mata… . Aku terpaksa berjalan menyamping. Limbung melawan hempasan. di Suara angin yang menerbangkan pasir itu seperti ribuan siulan yang mendesing di telinga. Horor, ketika kau hanya sendirian, di keluasan padang yang mulai gelap ini.

Untungnya kendaraan jemputan segera datang. Dua lelaki dengan mobil sejenis Rocky menghampiri kami bertiga. Salah satu bicara dengan bahasa Vietnam. Maksudnya kupahami, bahwa kami terlambat. Di pangkalan, jeep dan sopirnya sudah siap, begitu juga teman-teman rombonganku sudah duduk manis di kursi masing-masing. “Sorry,” kataku. Tanpa babibu lagi kami berngkat.

Kami berkendara balik ke arah semula, sejauh 24 km, red sand dunes sekarang. “30 minutes,” kata si sopir. Ia memarkir kendaraannya di tepi jalan. Kami cukup menyeberang. Red sand dunes hanya seluas 50 hektar saja. Warnanya lembut kemerahan. Banyak orang menyewakan seluncur pasir. Hati-hati dengan anak-anak yang menawarkan jasa untuk membawakan tas sementara kita bermain seluncur. Kata orang, pantai di ujung hamparan pasir ini sangat cantik. Tapi aku tak sempat ke sana.

Baru beberapa langkah berjalan, satu-satunya bule dalam rombonganku mengajak ngobrol. Dia asal Hungaria ternyata. Selalu saja aku lupa nama. Entah apa kerjanya di negaranya sana. Tapi ia cukup punya pengetahuan tentang Indonesia. “Hai, kenapa kau tak berhijab?” dia bertanya. Lantas kami bercerita tentang pengungsi Timur Tengah di Eropa, dan kecenderungan mereka yang semakin fundamentalis. Lalu tentang Rohingnya dan Indonesia.

Dua gadis Korea bergabung, tapi tak banyak ikut bicara. Kami hanya foto-foto. Tapi kenapa perempuan Vietnam yang bersamanya malah menyingkir ? Kupanggil dia. Malu-malu dia bergabung. Semula kukira dia Pinay, sebab kulitnya kecoklatan dan matanya tidak sipit. Ternyata dia Vietnamese, mengaku aslinya Saigon. Lelakinya ini orang baik, agak gimana gitu… Ramah, cerdas tapi juga agak berlebih memberi perhatian pada perempuan lain.

Tur kami menjelang usai. Dua gadis Korea ingin menghabiskan malam di sebuah restoran Korea yang cukup eksklusif dan minta diantar ke sana. Si sopir keberatan, sebab jaraknya 5 km dari titik akhir perjalanan kami petang itu. Si lelaki bule ini meminta kepada sopir untuk mengantar, “Kita harus memastikan mereka safe sampai sana…” Oyaowoh…

Jeep berhenti beberapa meter dari hotelku. Si sopir berkata, “Sorry, tak kuantar. Lihat itu Song Huong hanya 30 meter dari sini.” Tangannya menunjuk plang neon hotel yang telah menyala. Aku mengangguk, mengucap terima kasih pada semua orang di rombonganku. Entahlah, apakah 4 orang dari mereka ini akan meneruskan malam di resto Korea itu. Sempat kudengar perempuan Vietnam itu merengek manja ke lelakinya, “I don’t want to gooo…”

Badanku penuh pasir. Sesudah mandi, terasa sangat cepat malam merambat. Resto Song Huong tutup jam 10. Jalanan di depan terasa senyap. Jam 11 keesokan harinya aku telah berada di atas sleeper bus menuju Distrik satu, Saigon. ****

Silakan tulis komentar