JEJAK SANG GURU

Mengajar adalah salah satu sumber kegembiraan Almarhum Mgr. Andreas Henrisoesanta (1933 – 2016) Sampai menjelang tahun 2000 setiap hari Jumat ia mengajar agama di SMP Fransiskus Pasir Gintung dan dilanjut di Universitas Lampung. Sebulan sekali ia mengajar para novis FSGM dan suster-suster yunior Hati Kudus. Ia  masih turun gunung, seminggu sekali mengajar katekese calon baptis di gereja katedral Tanjungkarang. 

Presentation1

Sepulang dari studi di Roma pada 1966, Mgr. Henrisoesanta, waktu itu masih dipanggil sebagai Pastor Henri, menjadi guru dan kemudian kepala sekolah di SMA Xaverius Pahoman. Selain agama dan budi pekerti ia juga mengajar bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Ia seorang poliglot. Meski memegang ijazah doktor hukum gereja, ia tak canggung mengajar anak kecil. Ketika menjadi pastor kepala paroki kedaton, ia bahkan mengajar agama di SD Sejahtera.

Muridnya tak terbilang lagi banyaknya. Kebanyakan mereka mengatakan Mgr. Henrisoesanta mengajar dengan sistematis dan menarik. Ada pula yang mengatakan bahwa ia sedikit pelit dalam memberi nilai. Tapi ada kesan yang hampir sama dikatakan yaitu bahwa Mgr. Henri adalah guru yang tegas, keras bahkan. Ya, sesekali bisa melucu tapi tetap tak menghilangkan kesan kaku.

Ia bukan guru yang lugu, yang tak tahu jurus tipu-tipu para murid. Selembar arsip naskah kotbah misa reuni SMA Xaverius Pahoman pada 1990 membuktikannya. Dalam teks itu Mgr. Henri bercerita tentang peristiwa 20 tahun sebelumnya. Pada suatu hari raya Tionghoa, seorang guru menghadap padanya. Di sebuah kelas hanya 5 anak memakai seragam, sisanya berpakaian bebas.

Kepada guru tersebut  pastor Henri menginstruksikan agar 5 anak tersebut diberi pelajaran, dan sisanya diperintahkan menuju  aula. Di aula Pastor Henri memberi mereka pelajaran khusus, yaitu bahasa Inggris, bahasa Jerman dan agama / budi pekerti. Tanpa jeda, mereka hanya boleh meninggalkan kelas untuk izin ke toilet saja. Jam 9 pagi di luar gerbang ada suara klakson dengan irama khusus, tapi pastor henri tidak peduli. Para “sandera” tak berdaya. Baru pada pk. 12 mereka dibolehkan keluar berdua-dua. Tiba-tiba seseorang berteriak, “Gagal, gagal, kalah!”

Beberapa hari kemudian skenario itu terungkap. Para murid sepakat untuk pergi ke pantai. Itu hari raya Tionghoa, mungkin Pechun,  tapi bukan tanggal merah. Mereka berharap agar anak-anak yang tidak pakai seragam dipulangkan. Seterusnya 5 anak yang memakai seragam seminta  pulang juga karena tak berminat belajar.

Dalam mengenang peristiwa tersebut Mgr. Henri mempertanyakan kepada mantan muridnya yang sedang merayakan reuni, mengapa orang mau bergembira kok dihalangi. Selanjutnya tulis Mgr. Henri, “Orang muda berwatak dinamis, ingin belajar, mau mengembangkan diri tapi perlu pengarahan agar sampai pada tujuan. Sebagai guru diperlukan kesabaran dan harus bisa menghadapi benturan. ”

Pada saat itu Mgr. Henri, menutup kotbahnya dengan kalimat-kalimat yang menyentuh hati. “Pada kesempatan reuni ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya atas tindakan dan kata-kata saya selama mendidik Saudara di SMA Xaverius; yang menyakitkan, yang menjengkelkan atau menghalangi keinginan Saudara. Saya akui keterbatasan dan kekurangan saya, misalnya terlalu keras, terlalu tertib, kurang kebijaksanaan, dsb. Mudah-mudahan yang jelek dan menyusahkan itu tak disimpan di dalam hati. Yang baik dan berguna saja yang dimekarkan.”

“Terimakasih, kalian pun sudah mendidik saya. Kita saling mendidik dan memberi, saling memperkaya kehidupan. Keberhasilan kita tergantung pada banyak faktor dan banyak orang. Terima kasih kepada Allah, kepada manusia dan lingkungan. Mudah-mudahan reuni meningkatkan kekayaan kita akan bidang rohani, sifat tertib, jujur, kerja keras, juga sabar dan tahu batas. Dengan itu semua kita ikut membangun bangsa dan negara kita, “ demikian Mgr. Henrisoesanta.

Rupanya Almarhum  Uskup  Keuskupan Tanjungkaranng itu sadar bahwa ia sering dicitrakan sebagai orang yang keras. Perjalanan hidupnya sebagai anak transmigran bisa jadi membentuk karakternya. Hidup tentu tak mudah baginya,   berpindah tempat untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik dan berpindah sekolah untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi. Menjalani  peralihan dari zaman penjajahan ke masa revolusi kemerdekaan dan kemudian ditahbiskan sebagai uskup pribumi pertama. Ia harus  mengubah pola pikir orang dan mengimplementasikan dalam reksa pastoralnya. Pasti butuh kesabaran, ketegaran dan seperti ditulisnya sendiri, dan kadang kala, berani menghadapi benturan.

Orang tuanya, Yacobus Samadi Kasandikrama dan Jacoba Wasijem meninggalkan Ngijorejo, Gunung Kidul, DIY,  untuk ikut transmigrasi di Metro pada tahun 1939. Dusun yang terletak beberapa kilometer menjelang kota Wonosari pada waktu itu kurang subur, keras  berbatu cadas. Tanah kelahirannya mungkin memberi sedikit pengaruh. Maka, bisa jadi ia adalah jembatan batu kokoh yang mengantar kita,  generasi gereja yang lebih muda,  menyeberang ke masa depan yang lebih baik. Requiscat in pace Mgr. Andreas Soewijata Henrisoesanta.***

Sharing…..

Caring….

Silakan tulis komentar