Stasi Tatakarya, Paroki Murnijaya

MELACAK JEJAK JEMAAT PERDANA WAY ABUNG 

Gereja Stasi Tatakarya, 2015

Buku adalah mesin waktu. Ia mengantar pembaca menerabas sekat-sekat,  menikmati perjumpaan dengan peristiwa dan orang-orang dari ruang dan masa yang berbeda. Berbekal buku berjudul Th. Bosrt SCJ, Aotubiografi Seorang Misionaris, saya mencoba melacak jejak para pemula di stasi Tatakarya.

Sekarang Tatakarya merupakan salah satu stasi Paroki Murnijaya (sebelumnya disebut Dayamurni). Sesungguhnya tempat ini adalah titik awal di mana benih iman Katolik tumbuh di wilayah Way Abung.  Di sini pula untuk pertama kalinya seorang pastor, Martinus van Ooij SCJ tinggal menetap untuk melayani umat. Sebelumnya Romo Borst disusul para pastor yang lain, melayani dari paroki Kotabumi. Romo van Ooij pula yang pada tahun 1982 memulai pembangunan  pusat paroki di Murnijaya karena tempat terakhir ini terletak di tengah-tengah dan dipandang lebih bisa memberi harapan untuk berkembang.

Dengan diantar oleh Yohanes Parijo,63, saya menziarahi perjalanan Rm Borst di Tatakarya dan sekitarnya. Ia juga seorang mantan katekis yang bermukim di wilayah ini sejak 1975, sehingga bisa menjadi narasumber ketika saya kehilangan missing link antarperistiwa. Perjalanan saya tentu tidak dengan  jeep tua diselingi jalan kaki menembus alang-alang setinggi orang seperti Romo Bosrt dulu.

Berikut narasi Romo Borst yang saya sadur secara agak bebas agar bahasanya menjadi aktual tanpa mengubah maknanya.

“Tahun 1965 saya dengar akan dibuka transmigrasi baru, Way Abung I dan II, ± 25 km dari Kotabumi. Jalannnya masih dapat ditempuh dengan mobil. “Lahan baru” ini sama sekali tidak berarti. Belum ada seorang katolik di sini. Sdr. Muhadi menerima saya dalam gubuknya. Sewaktu sekolah ia pernah menjadi katekumen dan ingin melanjutkan pelajaran agama” – halaman 69. 

Romo Theodorus Borst, SCJ

Dalam catatan itu rupanya Romo Bosrt pun tidak bisa banyak berharap. Proyek transmigrasi Way Agung I dan II lebih merupakan rintisan dan gugur prematur. Pemukiman yang semula diangankan meliputi lahan yang luas di timur laut Kotabumi itu mangkrak karena meletusnya peristiwa G30S. Sekitar Agustus 1965 pemerintah  telah mengirim beberapa angkatan trasnmigran ke dua desa yaitu Tatakarya dan Purbasakti. Selanjutnya proyek terhenti. Proyek transmigrasi Way Abung baru dimulai kembali sesudah tahun 1970.

Pak Muhadi yang dicacat Rm. Bosrt dalam bukunya, masih bisa ditemui dan mampu mengingat dengan baik peristiwa lima puluh tahun lampau itu. Ia adalah salah satu dari 49 keluarga peserta transmigrasi umum angkatan pertama yang dimukimkan di wilayah ini. Yulius Lilik Argo Reni Muhadi, 76, bersama isternya Lucia Sudarni, 77, tiba Tatakarya – dulu disebut Proyek Rukti – pada Agustus 1965. “Dulu dari Jawa dijanjikan bahwa tujuan kami itu Belitang. Tetapi entah mengapa kami diturunkan di sini,” katanya. Tanah yang dijanjikan pemerintah hanyalah hutan sekunder, belukar dan rawa-rawa. Tak ada bantuan apapun dari pemerintah untuk mengolahnya, bahkan untuk bertahan hidup.

Selama seminggu mereka ditumpangkan di rumah keluarga orang Lampung asli di desa Surakarta. Kemudian para pemukim baru tersebut diperintahkan membuat bedeng di desa Bandar Abung (dulu bernama kampung Ajan). Kepada mereka juga ditunjukkan kawasan akan dijadikan kampung pemukiman mereka nantinya, masing-masing kepala keluarga mendapat ¼ hektare yanng harus dibuka sendiri.

Muhadi menginngat betapa sulitnya awal kehidupan mereka di sini. Dari 49 KK akhirnya hanya tersisa 13 KK saja yang bertahan di sini. Hidup menjadi lebih sulit ketika pecah tragedi September 1965. Proyek transmigrasi Way Abung terhenti. Para staf unit transmigrasi tak pernah muncul lagi. Untuk bertahan hidup para transmigran bekerja semampunya, buruh kepada penduduk  Lampung asli untuk mendapatkan upah bahan makanan. Kadang mereka pergi ke hutan atau rawa mencari apapun yang bisa menopang hidup.

Suatu hari di tahun 1966 Muhadi pergi ke hutan. Di rumah hanya ada isterinya dan dua anaknya yang masih kecil. Tiba-tiba Romo Borst yang dikawal dua tentara dari Kodim muncul di gubuk mereka. “Saya berkata ‘Berkah dalem Romo’ sambil saya salami dan persilakan masuk,” kata Sudarni, isteri Muhadi. Pasutri ini pernah menjadi katekumen di Jawa. Bahkan ke tanah rantau ini mereka membawa rosario dan buku Padupan Kencana. Pada kunjungan Romo Borst yang ke-3 keluarga kecil ini dibaptis tanpa proses katekumenat lagi.

Sesudah itu ada sekitar 27 KK yang berminat mengikuti pelajaran agama di Tatakarya. Romo Borst mengutus Darjono, katekis pembantu dari Propan untuk mengajar para magangan. Tahun 1967 mereka membangun gereja sederhana, berdinding papan dan beratap welit, di atas tanah jatah transmigrasi yang diberi nama Gereja Sang Timur. Misa sebulan sekali dapat dilaksanaan di gereja setelah sebelumnya dilaksanakan di rumah-rumah umat. Kalau tak ada misa diselenggarakan ibadat sabda dipimpin oleh Muhadi.

Yulius Lilik Argo Reni Muhadi dan Lucia Sudarni

“Suatu saat datang seseorang dari Purbasakti meminta Romo rawuh. (dari Tatakarya) ke tempat itu belum ada jalan, tetapi dapat ditempuh melalui alang-alang. Ketika saya menuju ke sana, ternyata lupa petunjuk  jalannya, tetapi akhirnya sampai juga setelah bertemu beberapa orang, salah seorang di antaranya guru. Saya berjanji akan datang lagi berkunjung bila ke Tatakarya. “ – halaman 70.

Petrus Matyani adalah guru yang dijumpai oleh Romo Bosrt di Purbasakti pada tahun 1966 itu. Ia adalah transmigran gelombang pertama di Purbasakti, hampir bersamaan dengan kedatangan transmigran di Rukti. Ada sekitar 25 KK yang bersedia mengikuti plejaran agama di sini. Tahun 1967 mereka mendirikan gereja di pekarangan H. Mulyodiharjo. Tahun 1970 kapel itu dipipindahkan dekat sekolah tamansiswa dan pada 1981 dibangun permanen di lokasi sekarang, di muka rumah keluarga Matyani.

Di antara Tatakarya dan Purbasakti ada kampung orang asli Lampung bernama Surakarta. Di tempat inilah dulu, para tarnsmigran sementara waktu ditumpangkan.

“… Pulang ke rumah, di Surakarta, kampung orang asli, tiba-tiba mobil saya dihentikan oleh seorang anak, Cyrius namanya. Bapak Simpson seorang guru, mempersilahkan saya mampir. Keluarga ini kemudian menjadi Katolik dan menyediakan tempatnya untuk mendirikan gereja.” – halaman 70.

Keluarga Simpson Simbolon semula penganut Protestan. Karena tak menemukan anggota jemaat yang lain mereka kemudian bergabung dengan gereja Katolik. Selain mereka ada tiga keluarga katolik di surakarta yang mengikuti mereka bergaung dalam gereja Katolik. Jadi sebelum tahun 1970 ada 3 gereja di wilayah Way Abung, yaitu Tatakarya, Purbasakti dan Surakarta. Tetapi pusatnya tetap di Tatakarya.

Proyek Way Abung kemudian terhenti. Baru diteruskan sesudah tahun 1970.  “Di Tatakarya dan Purbasakti tak ada lagi penempatan transmigran dalam skala besar. Paling-paling hanya trasmigrasi lokal atau spontan, itupun di areal yang sangat terbatas,” demikian ditambahkan oleh Parijo. Pertumbuhan jemaat Katolik pun surut karena berbagai sebab.

Tetapi sebaliknya di wilayah Way Abung yang lain dibuka pemukiman secara masif. Dimulai dari Dayasakti, Dayamurni dan seterusnya. Akhir dekade 1970-an jalan tembus dari arah Terbanggi Besar mulai dirintis, sehingga tak lagi harus memutar melewati Kotabumi. Desa dan kota kecil mulai berkembang hingga kini, begitu juga jemaat Katolik.

Mengakhiri tulisan ini perkenankan saya kembali menyadur Romo Borst.

Mereka (jemaat Katolik) menjadi terang dunia hendaknya. Kehidupan Kristiani hendaknya membawa kebahagiaan kepada orang yang belum mengenal dan mencintai Yesus. Gereja katolik berkembang, tetapi tiada akan selesai dalam perutusannya di dunia. “ – halaman 87.

Requiescat in pace Romo Borst. 

Bocah-bocah Way Abung

Yohanes Parijo

Romo Martinus van Ooij : Hadir dan Berkarya bagi Umat Sederhana.

‪#‎Sareng-Gusti-Lumampah-ing-Tanah-Berkah-Narasi-Kecil-tentang-Jemaat-Perdana-Gereja-Katolik-Lampung‬#

(**..**) TENTANG PARA LEGENDA (**..**)

Bagi umat Katolik generasi pertama di Paroki Kotagajah nama Romo Martinus Antonius van Ooij, SCJ bersama pendahulunya Romo C. Van Vroenhoven dikenang sebagai “legenda”. Mereka berdua – tanpa merendahkan jasa para pastor yang lain – mengawali pelayanan kepada komunitas-komunitas kecil di mana jemaat Katolik perdana bermukim.

Rm. Martin van Ooij

Akhir dekade 50-an dan awal dekade 60-an wilayah yang membentang dari Lampung bagian tengah hingga menjelang pantai timur ini dibuka sebagai pemukiman baru. Di antara para pemukim baru itu terselip beberapa orang atau keluarga Katolik. Saat itu kadang mereka belum membentuk komunitas. Pertemuan dan pendampingan para pastor meneguhkan mereka untuk setia sebagai pengikut Kristus. Bersama pastor mereka mencari saudara seiman dan perlahan membentuk  komunitas-komunitas kecil.

Bagi Romo Martin van Ooij sendiri perjumpaan dan pendampingan kepada jemaat perdana di wilayah yang kini disebut sebagai paroki Kotagajah meyakinannya bahwa cara berpastoralnya bukanlah sesuatu yang mustahil. Pada waktu itu pelayanan yang umum diberikan oleh para misionaris adalah melalui sekolah, klinik atau rumah sakit. Tetapi Romo Martin berkeyakinan bahwa pendampingan kepada jemaat tidak harus melalui sekolah formal, bahkan tidak pula harus dengan bersegera mendirikan gedung gereja.

Ia terus berjalan, mencari, mengunjungi dan menemani para pemukim baru tersebut. Ia bahkan kadang tak berbuat apapun, tetapi belajar memahami adat, budaya dan pemikiran mereka. Dalam kunjungan jemaat ia bahkan tidak mengutamakan pengajaran katekismus. Tentu, Romo Martin sangat percaya bahwa pendidikan adalah salah satu cara memajukan kehidupan masyarakat. Tanpa pernah mendirikan sekolah formal, Ia banyak membantu pendidikan anak muda di wilayah Kotagajah. Pada saat yang tepat hasil pendidikan itu tidak saja berguna bagi mereka dan keluarganya tetapi juga bagi wilayah di mana mereka berada. Mereka menjadi ragi semesta.

Masa kecil dan Panggilan Menjadi Imam

Romo Martin van Ooij senang hidup dan berkarya di pedesaan di antara para petani sederhana. Hampir seluruh pengabdiannya di Keuskupan Tanjungkarang selama tiga puluh tahun dihabiskan di paroki-paroki pedesaan. Ia sendiri memang terlahir dari pasangan petani sederhana, Henricus van Ooij dan Anna Maria Bennenbroek di Deurne, Netherland pada 14 Desember 1935. Ia merupakan anak nomor lima dari 11 bersaudara.

Kehidupan keluarga yang tenang di desanya terkoyak karena Perang Dunia II. Ibunya, beserta adik nomor sembilan meninggal dunia ketika pada 10 September 1944 sebuah pesawat Jerman memuntahkan tembakan ke arah rumahnya. Martin kecil, 9 tahun waktu itu, terluka parah di bagian kakinya. Ia dibawa ke rumah sakit dan hampir diamputasi. Tetapi pamannya yang mendampinginya – ayahnya sedang bertugas memberikan pertolongan kepada korban perang di tempat lain – mengatakan bahwa lebih baik Martin kecil itu meninggal dunia daripada hidup hanya dengan satu kaki. Akhirnya ia dioperasi tanpa pembiusan. Obat-obatan sangat terbatas waktu itu.

Rm. Martin, nomor lima dari kiri

Ayahnya adalah contoh iman baginya. Ia seorang seorang pendoa yang kuat dan rajin ke gereja. Ketika seorang kakaknya menanyakan hal itu padanya, ayahnya menjawab,” Bagaimana saya bisa mengatasi masalah dengan delapan anak tanpa ibu di samping mereka. Saya bisa gila kalau tidak berdoa.” Dua tahun kemudian ayahnya menikahi Martina Bennenbroek yang merupakan adik kandung almarhum ibunya.

“Tuhan memberi saya dua ibu terbaik. Satu yang melahirkan saya dan satu yang mencintai saya,” demikian komentar Romo Martin tentang keluarganya. Dari bibinya tersebut Romo Martin mendapat lagi tiga orang adik. Sepuluh orang dari sebelas bersaudara itu masih hidup hingga kini.

Waktu kecil, ia tak terpikir untuk menjadi imam apalagi berkarya di Indonesia. “Pernah suatu kali ketika pulang dari gereja ke rumah, saya berdoa agar Tuhan memberi kami seorang imam,” katanya. Waktu itu gereja terdekat dari kampungya berjarak 2,5 km dan sebagai anak kecil ia harus berjalan kaki. “Saya tidak berdoa untuk menjadi imam, tetapi kok saya yang dipanggil,” kata Rm. Martin.

Baru setelah kelas 6 SD ia menyatakan minatnya untuk menjadi imam kepada orang tuanya. Ia masuk dalam seminari SCJ, mengikrarkan kaul pertama pada 8 September 1956 dan ditahbiskan sebagai imam pada 23 Maret 1963 di Nijmegen.

Selama di seminari ia bercita-cita untuk menjadi misionaris di Kanada. Untuk itu ia mempersiapkan diri belajar bahasa Perancis. Sewaktu akan menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP), Kanada merupakan salah satu negara yang ditawarkan kepada para seminaris. Para pimpinan seminari meminta agar seminaris yang akan berangkat minta izin kepada orang tua, dan selanjutnya diberangkatkan tanpa syarat apapun.

“Ayah saya mengizinkan saya berangkat, tetapi minta tahbisan saya tetap di Belanda,” kenang Rm. Martin. Permintaan ayahnya ini membuatnya tidak diberangkatkan ke Kanada. Ketika dua temannya kembali dari Kanada, Romo Martin bertanya bagaimana kesan-kesan mereka tentang tempat itu. Mereka menjawab bahwa Kanada bukanlah daerah misi. Jawaban ini merupakan titik balik bagi hidupnya.

Selanjutnya ia tidak berminat lagi untuk pergi ke Kanada. Urutannya kemudian untuk berkarya adalah Indonesia, Brazil, dan Chile. Tetapi ia berprinsip bahwa “bukan aku tetapi Tuhan yang mengutus aku.” Maka ia masih meletakkan Kanada para urutan prioritas ke-4 untuk berkarya.

Mendengar keputusannya untuk mengutamakan berkarya ke Indonesia, satu kata terlontar dari orang tuanya, “Sinting!” Indonesia belum terlalu lama memerdekakan diri dari penjajahan panjang Belanda. Relasi dua belah pihak belum baik saat itu. Jelas keluarganya merasa khawatir.

Tetapi Romo Martin bergeming. Ia tetap pergi. Satu tahun setelah tahbisan imamat, pada 22 Mei 1964 ia berangkat ke Indonesia. Dari bulan Mei sampai Agustus ia ditempatkan untuk membantu Paroki Pringsewu sekaligus belajar bahasa Jawa. Ia juga ditugaskan untuk melayani wilayah Lor Kali, yang kemudian menjadi Paroki Kalirejo. Bulan September sampai 8 Desember tahun itu juga ia tinggal menetap dan melayani Kalirejo.

Tanggal 8 Desember 1964 ia berpindah ke paroki Metro, khususnya untuk melayani wilayah Punggur. Di paroki yang berdiri sejak 1937 itu, sudah ada dua konfrater seniornya, Romo Albert Grein, SCJ dan Romo C. Van Vroenhoeven, SCJ. Tidak terlalu mudah untuk berelasi bila menyangkut tentang konsep pelayanan pastoral.

Kedua seniornya adalah imam-imam yang dididik pada masa sebelum Konsili Vatikan II. Sementara dirinya telah mulai menerapkan sejumlah pembaruan pastoral yang digaungkan oleh konsili tersebut. Perbedaan itu misalnya, Romo Vroen mengutamakan pengajaran katekismus. Sementara Rm. Martin “tidak berbuat apa-apa”.

Ia lebih ingin hadir untuk mengetahui pikiran, budaya, adat kebiasaan dan harapan-harapan orang-orang yang dilayaninya. Cara-cara inilah yang ia terapkan, sampai terjadinya tragedi besar 1965 yang mengubah banyak hal dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan tentu saja dalam cara – cara berpastoral….. *** (dilanjut bagian ke-2).

SEbagai seminaris

Bersama Rm. Martin