Ginekolog sindrom, konon adalah suatu trauma psikologis yang dialami oleh perempuan pascamelahirkan. Trauma ini ditengarai oleh timbulnya rasa sungkan, malu atau sejenis rasa tidak nyaman lainnya bila bertemu dokter kandungannya. Penyebabnya tentu saja karena daerah rahasia itu dilihat oleh lelaki yang bukan suaminya. Se-ilmiah apapun alasanya pasti rasa tidak nyaman itu akan muncul.
Konteks psikologis semacam ini rupanya yang menghinggapi kami berdua : saya dan “mantan sahabat” saya saat ini. Tidak secara fisikal pasti. Pada suatu ketika dulu kami pernah hidup di perantuan sebagai mahaiswa asing, jauh dari segala support system, apakah itu bernama keluarga, profesi, status sosial, dll. Karena berasal dari negara yang sama dan beberapa kesamaan latar belakang lainnya kami menjadi karib. Sebagai sahabat tentu saja banyak hal yang sangat personal sering kami sharingkan.
Bolehkan dikatakan relasi pertemanan kami saat itu mencapai apa yang disebut sebagai intimacy level. Hmm….jangan cepat-cepat menerjemahkan kata ini ke dalam bahasa Indonesia yang salah kaprah, yang sering mendeskripsikan kata intimacy ke dalam konotasi miring. Dalam bahasa Inggris kata ini berarti sangat positif kok. Intinya kami aling mengerti dan memahami wilayah batiniah masing-masing.
Ya, bagi saya relasi itu terjadi dalam tiga tahapan, kenalan, teman dan sahabat. Saya akan membuat analogi. Saya ibaratkan hati manusia itu sebagai sebuah rumah. Kenalan adalah orang yang tiap hari lewat di jalanan depan rumah kita. Kita tahu namanya, hafal wajahnya, bahkan juga mungkin tahu alamat rumahnya. Tapi baik dari pihak kita maupun orang itu tak pernah berniat meningkatkan kualitas hubungan. Relasi sebatas saling senyum, mengangguk dan bertanya dari mana mau ke mana. Tak ingin tahu lebih banyak dari itu.
Sementara teman adalah tingkatan selanjutnya dari seseorang yang saya sebut kenalan. Ini adalah kelompok orang yang saya izinkan berkunjung ke rumah saya. “Tapi jangan jauh-jauh, silahkan duduk manis di ruang tamu saja.., “ begitu saya memberi alarm pada orang-orang ini, sehingga relasi akan terjadi dalam tingkatan yang formal, santun dan bisa jadi basa-basi. Kita hanya saling tahu tentang kepribadian masing-masing dari kulit luarnya saja. Bolehlah saya mengaku bahwa dalam hidup saya orang dari level relasi semacam ini yang lebih banyak saya miliki. Dasarnya saya ini juga bukan orang yang suka buka-bukaan masalah pribadi dengan banyak orang.
Sahabat sekarang. Ini adalah sekelompok (kecil) orang yang boleh masuk ke segenap penjuru rumah saya, kapan saja. “Feel like a home….” Itu isyarat yang saya sampaikan kepada orang-orang ini. Dalam tataran relasi persabatan ini dua pihak merasa menjadi dirinya sendiri. Tanpa basa-basi. Watak asli kita yang paling buruk sekalipun tetap dipahami. Tentu seorang sabahat bukan orang yang menganggap saya paling benar. Seorang sahabat tidak pernah membiarkan sahabatnya terjerumus dalam sikap dan tindakan yang ngawur. Sahabat saya tahu bagaimana caranya mengritik saya tanpa membuat saya marah. Sepahit apapun kritik yang disampaikan sahabat, saya percaya bahawa itu adalah demi kebaikan saya dan orang banyak, tapa ada udang di balik batu misalnya untuk menjatuhkan saya. Hal inilah yang saya maksudkan sebagai intimacy level dalam relasi. Kuncinya satu yaitu kepercayaan. Dua pihak mengakui vulnerability “kerapuhan” masing-masing dan menyandarkannya pada sahabatnya.
Kembali ke kasus saya tadi. Pada akhirnya kami pulang ke Indonesia dan suntuk dengan profesi masing-masing. Saya kembali menjadi ordinary people di sebuah kota kecil di pulau Sumatera. Ia disibukkan oleh “jabatan publik”-nya di pusat pulau Jawa. Sesekali kami berbincang on line. Tetapi makin lama juga makin jarang. Bahkan pada akhirnya saya merasa ada keanehan di antara kami. Beberapa kali dia cepat-cepat mematikan chat box-nya kalau secara kebetulan saya meng-on- kannya.
Sekali waktu ketika seorang teman sekolah kami dari luar negeri ingin berkunjung ke Indonesia. Lewat email saya minta ia menjadi tuan rumah, sebab di kota saya ini apalah yang bisa saya pamerkan. Saya katakan bahwa jika teman kami datang di kotanya, saya juga akan datang, sehingga kami bisa mengadakan reuni kecil. Pada saya ia menanggapi dengan baik dan menyatakan sanggup. Tetapi ternyata kepada teman kami ia menolaknya meski itu dikatakan dengan bahasa yang sangat halus dan berbelit. Pada saat itu saya sadar bahwa ia tidak lagi menjadi intimacy friend tetapi hanyalah aquintance, dari sahabat berubah menjadi sekedar teman atau kenalan saja. Dari perbincangan yang biasanya personal menjadi formal bahkan diplomatis – yang setiap kata harus kita tafsirkan sendiri apa makna sebenarnya di belakang itu.
Apakah dia terhinggapi “gynecologist syndrome”, karena saya tahu banyak tentang innerself-nya (sebaliknya ia juga tahu saya). Sementara sekarang ini, jabatan publiknya membuatnya harus menjaga citra berwibawa, bersih dan “tabularasa’. Kalau saya berprasangka begitu, kok salah juga ya. Apakah jabatan public seseorang harus menghilangkan the ability to express and accept intimacy from and to others? – saya bertanya pada batin saya sendiri.
Saya merasa kehilangan tentu saja, tetapi tak dapat berbuat apa-apa, kecuali berusaha memandang hal itu dari segi positif saja. Hidup bukan pasar malam. Kita tidak datang bersama-sama untuk sebuah hura-hura dan nanti pulang bersama-sama pula. Saya sedih bahwa relasi kami “turun” pangkat, tapi saya tak pernah menyesal telah membangun a human intimacy relationship. Setiap intimacy akan memberi rasa pahit ketika berpisah. Urip mung mampir dolan. Hidup ini cuma mampir “keluyuran”, kita ketemu di sepotong perjalanan, membangun relasi dan berpisah di persimpangan, sebab setiap orang punya tujuannya masing-masing. We have our own trajectory. Let people come, stay or go out from my life, and I am remain OK. Letting be – letting go – we move on.
Artikel terkait :