Kopi Robusta Dan Arabica

Mari bicara tentang kopi. Selagi musim hujan begini      ( oh… sudah setahun ini Indonesia diberkahi dengan musim kemarau basah), kopi menjadi teman yang nikmat untuk diajak bekerja, belajar ataupun bersantai di senja yang sejuk.

musashi

Bertahun yang lalu, saya bukanlah seorang peminum kopi. Benar bahwa saya besar di pulau Sumatera, sebuah tempat penghasil salah satu varian kopi nikmat di dunia. Tetapi lambung yang sensitif membuat saya melupakan kopi. Saya suka mencium baunya, baik saat disangrai di rumah tetangga maupun ketika digiling di pasar-pasar tradisional yang saya lewati.

Ketika sepuluh tahun yang lalu saya bermukim sementara waktu di Ecully, sebuah desa di perbukitan karang Rhone– Alphes, saya terpaksa minum kopi. Saya mengikuti kelas komunikasi yang mengharuskan saya duduk dan praktikum seharian suntuk di luar rumah. Dalam hawa dingin – dan salju seringkali turun karena desa pegunungan – saya harus melawan rasa ngantuk dan jenuh. Anggur memang murah tetapi saya belum terbiasa. Minuman yang bisa direguk sesukanya di asrama ini, membuat saya limbung tak karuan.

Jadi alternatifnya ya kopi. Jam sepuluh saya ngopi. Setelah makan siang ketika teman-teman lain minum anggur sebagai penutup, saya tetap pilih kopi. Sore ngopi lagi. Apa boleh buat, ketika sudah terbiasa dengan anggur, saya malah tidur nyenyak beberapa saat sesudah menenggaknya. Jadi kopi merupaka alternatif untuk mengahangatkan badan dan mengganjal mata.

Sebulan seperti itu, jantung saya terasa berdetak lebih keras. Saya sering deg-degan. Waduh, porsi kafeinnya sudah terlalu banyak meracuni syaraf saya rupanya. Beberapa saat kemudian saya mencari tahu sebabnya. Rupanya kopi yang beredar di sana adalah jenis arabica, yang memang lebih kuat rasanya dari robusta yang sesekali yang minum di kampung. Kopinya juga dalam bentuk ekstrak (seperti nescafe misalnya), yang memang menyajikan sari patinya saja tanpa ampas.

Pulang kampung, saya jadi suka kopi, meski saya tak menyebut diri sebagai peminum sejati. Saya berusaha tahu jenis-jenis kopi. Saya berusaha membedakan varian-varian itu di lidah saya. Saya berusaha mencari strategi agar nikmat kopi tak memicu produksi asam lambung saya  meningkat sehingga perut kembung. Nah ini hasil penelusuran saya.

Kopi Robusta dan Arabica

Terlepas bahwa arabica lebih mahal di pasaran dunia, saya lebih suka robusta. Robusta terasa lebih ringan di lidah. Warnanya lebih terang dan tidak terlalu asam. Secara alamiah teksturnya memang lebih kasar di banding arabica. Tetapi sekarang saya mudah mencari robusta kemasan yang digiling sangat halus sehingga ketika diseduh tidak banyak meninggalkan ampas.

Kalau saya ditanya enak mana robusta atau arabica ? Jawabnya tergantuh sih. Kenikmatan kopi tergantung pada beberapa hal. Pertama: tanah tempatnya tumbuh. Ini yang membuat sama-sama varian arabica dari sumatera berbeda rasa dengan arabica yang tumbuh di Amerika latin sana. Perbedaan selanjutnya adalah usia pohon. Pohon  yang berusia tua relatif menghasilkan rasa kopi yang lebih enak daripada biji dari buah pertama. Pastikan juga biji kopi yang dipetik hanya yang benar-benar matang merah kehitaman. Lantas menjemurnya juga harus sampai benar-benar kering. Tangan orang yang menyangrai kopi juga membuat perbedaan yang siginifikan. Orang yang tak terbiasa pasti akan membuatnya gosong kan ?

Secara umum begini perbedaan arabica dan robusta.

Presentation1

Kopi Arabica yang mengauasai 70 % pangsa pasar dunia mempunyai rasa yang kental dan pahit di mulut. Ia tumbuh di dataran tinggi dengan syarat iklim kering selama tiga bulan terturutan. Pohonnya lebih pendek daripada robusta dan pemeliharaannya lebih rumit karena arabica lebih rentan terhadap penyakit karat daun. Jumlah buah dalam tiap tangkai juga lebih sedikit dengan bijinya berbentuk oval. Bila telah diproses baunya lebih netral, tekstur secara alamiah lebih halus. Ada rasa asam di lidah meski sebenarnya kadar kafeinnya lebih rendah daripada robusta.

Robusta lebih kuat terhadap serangan karat daun tetapi lebih rentan terhadap serangga. Ia bisa tumbuh di dataran rendah. Pohonnya lebih tinggi daripada arabica. Jumlah buah dalam tiap tangkai juga lebih banyak dan berbentuk bulat. Bila telah diproses  baunya lebih harum, lebih soft di lidah dan warnanya agak kecoklatan. Tetapi jangan salah, kandungan kafein pada robusta lebih tinggi daripada arabica (lihat tabel).

Sekarang sesudah berani menyebut diri penikmat kopi, apakah saya bisa membedakan mana kopi gayo, kopi toraja, kopi jawa dan sebagainya ? Beluuuum ! Tetapi biasanya ledah saya bisa membedakan mana arabica mana robusta. Saya mau sih belajar jadi barister atau bahkan pemilik kedai kopi.  Tapi sementara ini baru cukup puas sebagai penikmat saja. Lagi pula sebenarnya varian utama kopi ya Cuma arabica dan robusta itulah. Ada juga african coffee, tapi sampai saat ini baru dalam tahap pengembangan. Nama-nama semacam kopi jawa, kopi sulawesi, kopi gayo dsb hanya menunjukkan tempatnya ditanam.

Mana yang lebih banyak beredar di Indoensia ? Indonesia penghasil kopi. Jadi kedua jenis ini banyak di pasaran. Tidak selalu pada labelnya ditulis apakah itu jenis robusta atau arabica. Yang lebih sering ditulis adalah asal tumbuhnya (bahkan asal pabrik pengolahannya), misalnya kopi bali, kopi toraja, kopi papua, dsb. Dengan banyak tempat tumbuh, maka varian rasanya juga lebih kaya.

Banyak orang Indonesia kurang suka pada kopi arabica karena rasanya yang kuat dan agak pahit. Maka beberapa produsen bahkan Nescafe, mencampurkan robusta dalam produknya yang dijual di Indonesia. Tetapi untuk produk yang dijual di Eropa isi kemasan mereka sepenuhnya arabica.

Bisa dimengerti sekarang. Ketika pertama kali datang ke Ecully kopi yang saya bawa adalah robusta. Saya blend di kampus. Dan komentar teman-teman, “ Nice, but soft and light.” Ya karena mereka terbiasa minum nescafe yang 100% arabica, jadi robusta memberi sensasi baru di lidah mereka.

 

Cerita di Balik Secangkir Kopi

SAM_0360

“Datanglah ke Bukit Barisan saat paceklik, maka kamu akan bisa membeli sepeda motor atau barang-barang mewah lain dengan harga murah, “ kata teman saya, seorang pendeta yang betugas di antara petani kopi, jauh di gigir tulang punggung Pulau Sumatera itu. Agaknya pulen nikmat  kopi Sumatera yang sedang moncer di gerai-gerai kafe berlabel internasional tak selalu bisa dinikmati petaninya.

Pegunungan Bukit Barisan adalah salah satu hulu produksi kopi Sumatera, yang konon katanya termasuk salah satu kopi ternikmat dunia. Kalau panen kopi jatuh pada waktu tepat para petani dengan mudah membeli barang-barang mewah. “Mereka mampu membeli sepada motor seperti orang lain membelikan sepeda mini untuk mainan anaknya,” imbuh teman saya tadi. Waktu yang tepat bagi kopi untuk panen kopi adalah saat musism kemarau dan permintaan kopi cukup tinggi. Dan yang menjadi keajabaiban ialah jika panen kopi bersamaan dengan kurs dolar terhadap rupiah melambung tinggi.

Cara hidup konsumtif yang mungkin ditularkan orang kota,  membuat mereka membeli berbagai barang yang bagi kita terasa aneh. Sepeda motor dibeli seperti orang di kota membelikan sepeda mini mainan anak. Padahal sepeda motor bukanlah sarana angkutan yang efektif di pegunungan macam begitu. Tetapi beberapa musim kemudian, kalau harga kopi merosot mereka akan menjual semua barang tersebut. Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari pun mereka bisa berhutang kepada pengepul dengan sistem ijon. Siklus hidup terus begitu dari tahun ke tahun.

Ya boleh jadi nasib petani kopi Sumatera  tak semoncer segelas yang terhidang di kafe berlabel internasional. Jalan pegunungan yang berjurang dan berliku itu seperti tak pernah berubah sejak puluhan tahun yang lalu.  Hutan-hutan tropis telah gundul dirambah orang untuk dijadikan kebun-kebun kopi. Pemerintah daerah telah menetapkan beberapa lokasi sebagai area sabuk hijau dan memindahkan para petani dan perambah ke lokasi transmigrasi lokal, tetapi mereka kembali lagi ke daerah ini untuk berladang kopi.

Mereka peladang kopi dan di lokasi transmigrasi local mereka harus mencoba tanaman keras yang lain, missal karet atau sawit. Pasti tidak mudah untuk menyesuaikan diri. Belum lagi hitungan keuntungan hasil panennya. Mereka balik lagi ke Lampung Barat. Jadi jangan heran kalau kerimbunan hutan yang tampak di tepi jalan, hanyalah kamuflase. Kalau kita masuk lebih dalam lagi, gunung-gunung di belakangnya telah menjadi ladang kopi.

Bermula dari Sekincau

rumah2

Rumah adat Lampung di Sekincau

Sekincau adalah nama sebuah desa di tepi jalan raya menuju Liwa, ibukota Lampung Barat. Saya telah mendengar nama ini berpuluh tahun yang lalu ketika saya masih kanak-kanak. Tahun 70-an beberapa tetangga saya ada yang berladang kopi di sana. Beberapa yang lain pergi ke sana pada musim panen saja untuk bergabung dengan para buruh petik. Mereka bercerita tentang hawa yang sangat dingin dan hewan yang sangat menakutkan yang sesekali datang menyambangi mereka, si raja hutan.

Baru tahun 1995 saya berkesempatan ke sana, tepat satu tahun setelah Lampung Barat dilumpuhkan gempa tektonik. Tanda-tanda bekas gempa tak banyak terlihat. Beberapa hari saya menginap di sana, lalu melakukan perjalanan panjang untuk masuk ke pedalaman: Suwoh, Marang, Sidomakmur, Hulu Mayus, Ranau, dan beberapa sentra perladangan kopi lainnya. Tak nampak tanda-tanda bekas gempa setahun sebelumnya. Penduduk yang saya temui tetap terlihat optimis. Memang saat gempa besar itu terjadi, ladang-ladang kopi sedang mempersembahkan panenan terbaiknya. Harga kopi di pasaran dunia sedang melambung. Maka bantuan-bantuan makanan semacam mie kering dari para penderma tidak terlalu penting dan mangkrak di gudang.

Sesudah kunjungan pertama itu, saya sering berkunjung ke Lampung Barat meski tidak teratur waktunya. Selalu Sekincau menjadi titik tumpu perjalanan saya. Dan terakhir, bulan Juni 2013 lalu saya ke sana, sebelum melajukan kaki ke Ranau dan pulang menyusuri pantai barat Sumatera. Mungkin bukan sekedar hawanya yang dingin yang membius saya. Tetapi juga kesuburan alamnya, keheningannya dan senyum sapa penduduknya.

Memetik kopi

Memetik kopi

Sekincau akan terjangkau sekitar 5 jam perjalanan mobil dari Bandar lampung. Transportasi  umum juga mudah. Dari terminal Rajabasa di ibukota Provinsi Lampung itu, carilah bus AC menuju Ranau. Atau bisa juga dengan travel. Berangkat pagi atau siang hari, akan lebih menguntungkan. Selepas Bukit Kemuning, mobil akan berbelok ke kiri. Jalanan mulai mendaki. Selepas Sumberjaya, jalanan aspal sempit berkelok-kelok sangat tajam. Perlu super hat-hati memegang kemudi, terutama jika belum terbisa menyusuri jalur ini. Tapi pemandangan yang terhampar bukan main indahnya. Kehijauan semata, ngarai dan punuk-punuk punggung Bukit Barisan berbalut kabut berbataskan kaki langit.

Berangkat malam hari kecuali tak dapat melihat indahnya pemandangan, juga lebih berisiko. Pada musim penghujan, badan jalan bisa saja tertutup longsoran dari dinding batu dan tanah di kiri kanannya. Bila ini terjadi tak banyak yang kita perbuat  kecuali menunggu. Satu lagi. Waktu bulan Juni lalu saya ke Sekincau, jalanan antara Kotabumi – Bukitkemuning rusak parah. Jalur ini juga rawan kemananannya. Para sopir tronton pelintas jalur Sumatera akan berhati-hati di daerah ini. Bajing loncat terbilang nekat. Dan kalau tak nemu rejeki dari truk apa boleh buat pengendara mobil pribadi pun bisa saja disikat.

Di Sekincau saya bisa menginap barang semalam atau dua malam, sebelum meneruskan perjalanan ke pedalaman. Beberapa konglomerat pedagang kopi punya vila di sini. Kalau kenal dan bicara sebelumnya dengan pengurusnya bisa saja menginap di sini. Tapi itu tidak pernah saya lakukan. Saya lebih suka menginap di Ben Venuto, rumah singgah sederhana berdinding papan milik paroki. Saya sih mudah. Mau numpang tidur di rumah penduduk di sekitar Gereja Sekincau pun pasti dibolehkan. Saya biasa berangkat pagi hari, dan tiba sore hari di Sekincau.

Sejuknya  senja menyapa. Kabut kadang turun mengiringi malam. Temperatur bisa anjlog di bawah 10. Ben Venuto, rumah berdinding papan tempat saya menginap sesekali bergetar jika kendaraan berat lewat. Halaman depan cuma selebar 8 meter dan berbatasan langsung dengan jalan lintas Liwa – Kotabumi. Kendaraan pengangkut kopi dan sayuran itu akan terus melintas sampai dinihari, meski juga tidak terlalu sering. Rupanya truk dan tronton lebih suka melawati jalur ini dibanding jalur pantai barat Krui-Kotaagung-Bandar Lampung.  Jalan raya jalur pantai barat lebih mulus tapi masih teramat sepi apalagi larut malam dan dini hari begini. Jalur Sekincau – Kotabumi dipenuhi oleh belokan dan tikungan tajam bahkan pada beberapa ruas jalan rusak parah,  tetapi relatif lebih aman karena selalu melewati pemukiman penduduk.

Pagi hari, kabut tebal turun di permukaan tanah. Bunga-bunga, rumput dan tanaman kopi di kebun sekitar rumah kuyup oleh embun. Saat matahari mulai muncul, saya ikut ke kebun, memetik kopi dan menjemurnya di siang hari. Di sekitar Sekincau, beberapa petani juga berkebun sayuran. Memang sayuran adalah juga hasil bumi andalan Lampung Barat.  Cuaca dan tanah di pegunungan Bukit Barisan ini seperti surga dalam lagunya Koes Plus. Apapun dilempar ke tanah akan jadi tanaman dan menghidupi penduduknya.

Sesudah istirahat siang saya bisa meluangkan waktu ke tetangga kiri kanan, melihat mereka menjemur kopi. Saya bisa pula memilih biji-biji yang tua dan kering untuk disangrai dan digiling sendiri. Kedua jenis kopi baik robusta maupun arabica biasa ditanam penduduk di sini. Robusta adalah jenis kopi yang bisa tumbuh pada dataran rendah. Jenis inilah yang banyak menjadi komoditas dari Lampung. Sementara arabica, hanya bisa tumbuh di dataran tinggi saja.

Saya biasanya senang jenis robusta, karena rasanya lebih ringan dibanding arabica. Tapi soal rasa juga bergantung dari proses penaman sampai pengolahannya sih. Misalnya pohon yang relatif tua akan menghasilkan rasa yang lebih enak pula. Perhitungkan juga pemilihan biji kopi apakah seragam hanya bibit yang benar-benar matang saja yang dipetik. Lalu juga pengeringan dan  pemasakan (dioven atau cara tradisional disangrai).

Tentang rasa kopi, saya punya dusun favorit untuk didatangi. Namanya Sidomakmur. Letaknya beberapa kilometer ke arah barat dari Sekincau. Oh ya, kalau saya berbicara tentang desa-desa di pegunungan Bukit Barisan, jangan membayangkan seperti desa-desa di Jawa yang tertata rapih secara fisk maupun admisitratif. Desa atau dusun-dusun itu bisa jadi hanya berupa beberapa gubuk para peladang kopi di antara ratusan hektar kebun kopi. Seringkali lokasi ini berada di sebuah “lembah” – tanah yang aka rata atau cekung di tengah lereng pegunungan itu.

Biasanya lembah yang dijadikan pemukiman itu ada mata air atau beliknya sehingga mereka bisa mendapat akses air bersih untuk keperluan sehari-hari. Orang-orang di Lampung menyebutnya “umbul”. Makna umbul sesungguhnya adalah mata air. Tetapi makna yang lebih luas, umbul adalah sebuah bakal dusun. Nanti kalau ada beberapa peladang lagi yang bermukim di situ, mereka akan bisa dicatat sebagai warga dudun yang menginduk kepada desa terdekat. Jangan salah…. desa terdekat itu bisa jadi gunung di seberang sana, yang tampak samar membiru di batas pandangan.

Kebun Sayuran

Kebun Sayuran

Untuk menuju desa itu tak akan ada transportasi umum. Yang biasa digunakan penduduk adalah motor trail atau mobil jeep brondol buatan tahun 70’an. Itu pun harus dibelit rodanya dengan rantai ketika kita berkendara pada musim penghujan. Bisa dibayangkan betapa terisolirnya umbul-umbul para perladang kopi ini. Maka umbul sebagai “bakal desa” ini sangat sering tetap saja selamanya menjadi umbul.

Sebagian para peladang ini memiliki rumah di desa atau kota lain. Misalnya saja sebagian pengumbul di Suwoh adalah juga warga Pringsewu. Sebagian petani di Sekincau mempunyai rumah di Baradatu (Way Kanan). Di desa-desa asal mereka inilah mereka menitipkan anak-anak mereka kepada famili agar dapar bersekolah secara normal. Beberapa keluarga di umbulan yang saya kenal, lebih mempercayakan anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah dasar kepada pengelola panti asuhan.

Ya, apa boleh buat. Lingkungan terbaik anak-anak adalah keluarga,  pasti mereka tahu itu. Tetapi bayangkan. Saya pernah mendengar cerita para petani di Suwoh tentang betapa beratnya perjuangan anak-anak meraka dalam menuntut ilmu. Untuk mencapai SD terdekat meraka harus berangkat subuh, meyebarang sungai, pendaki bukit yang lain. Sekolah usai jam 1 siang, dan mereka butuh dua jam lagi untuk mencapai rumah. Tengah hari, para ibu yang begitu mencintai anak-anak mereka akan berangkat menyusuri jalur sekolah anak-anak mereka membawa bekal makan siang. Di pertengahan jalan, ibu dan anak bertemu, mereka beristirahat untuk menyantap makanan, kemudian bersama pulang. “Makanan akan terlalu dingin kalau dibawa sejak pagi,” kata mereka.

Begitulah hidup berjalan hari ke hari di perladangan kopi. Hiburan yang murah hanyalah televisi. Tentu saja antena biasa tak bisa menangkap siaran. Mereka harus membeli antena parabola dari kota. Listrik tak ada. Jalan satu-satunya mereka harus pula membeli seperangkat genset. Dan….. solarnya harus pula beli di kota. Padahal transportasi amatlah langka dan mahal. Keperluasn hidup menjadi mahal, dan lagi-lagi mereka harus terjerat tengkulak.

Menyambut kabut di Ranau

Danau Ranau

Danau Ranau

Kali ini saya ingin meneruskan perjalanan ke Ranau, danau terbesar kedua sesudah Toba di Sumatera Utara. Danau ini terbelah dalam dua wilayah yitu Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan. Pintu masuk kawasan wisata ada di dua kawasan tersebut. Saya sendiri terus melaju, memasuki kawasan Kepahyang (Ogan Komering Ulu – Sumatera Selatan) dan masuk dari sana. Dari jauh danau menghampar biru dengan latar belakang Gunung Seminung yang berasap di puncaknya.

Kawasan wisata ini belum banyak dipromosikan. Meski begitu keindahannya patut diperhitungkan. Kurangnya fasilitas yang memadai pagi pelancong, mungkin membuat tempat wisata ini terasa senyap. Wisma Pusri yang sebenarnya cukup megah terlihat kurang terawat. Padahal dari wisma ini kita bisa menikmati pemandangan Gunung Seminung di latar depan dan pegunungan Bukit Barisan di latar belakang. Di bawah anjungan, pantainya juga terlihat landai, berpasir lembut, sehingga kita bisa bermain di situ. Sayang, sampah-sampah plastik berserakan.

Dari anjungan ini kita bisa menyewa perahu untuk menuju Gunung Seminung. Hati-hati. Tawar dulu sebelum berangkat. Kalau tidak begitu di tengah perjalanan kita bisa “dipaksa” untuk membayar mahal. Ini bukan pengalaman khas di tempat ini. Banyak tempat wisata seperti ini. Pada dasarnya penduduk di sekitar danau ini cukup ramah. Perhitungkan juga makanan. Bawa bekal sendiri lebih baik. Di sekitar danau tak banyak warung makan. Kalau pun ada, harganya sering tak sebanding dengan rasanya.

Sayang saya tak bisa berlama-lama di Ranau. Sekitar pukul tiga sore awan hitam bertiup kencang dari arah Gunung Seminung. Saya masih harus mampir Liwa dan tempat –tempat lainnya, menempuh jarak lebih dari 100 kilometer lagi. Di perjalanan menuju basecamp kami di Sekincau, kami membeli sayuran, dan ketela rambat. Hasil-hasil pertanian ini banyak dijual di kios-kios di tepi jalan. Para petani membawanya dari gunung dengan mengendarai motor trail. Kebanyakan pemilik kios sekaligus pengepul hasil pertanian ini orang Batak. Tentu kita tak dapat membeli sayuran secara eceran. Harus membeli minimal satu karung plastik. Tak apa. Toh nanti di rumah bisa dibagi ke tetangga untuk oleh-oleh.

Ketika maghrib tiba, kami sudah mencapai Liwa, ibu kota Kabupaten Lampung Barat. Kami mampir sebentar di rumah kenalan. Hujan deras datang mengiring malam. Meski hujan tak berlangsung lama, bukan berarti perjalanan kami menjadi lancar. Kabut turun sangat pekat. Batas pandangan paling jauh hanya tiga atau empat meter ke depan. Padahal jalanan sangat berliku-liku dan sempit. Kami harus ekstra hati-hati.

Jam delapan malam kami tiba kembali di Sekincau. Makan, cuci muka dan tidur. Pagi berikutnya kami menuju Bandar Lampung melewati jalur pantai Barat Sumatera……..

Dr. Sudaryanto, Begawan Linguistik Indonesia

 Dr. Sudaryanto begawan linguistik itu menginspirasi saya dalam hal semangat kebangkitan. Meski ia bukan penganut Katolik – ia seorang jemaat protestan yang terlihat saleh dan ugahari di mata saya –  ia menghayati ajaran klasik Benedictine : Succisa virescit — pruned, it grows again.

Bisa saja kita menjadi orang baik, taat hukum, welas asih dan sejenisnya, tetapi bukan jaminan bahwa jalan hidup akan lancar selamanya. Ibarat kata, kita sedang berjalan dengan hati-hati di trotoar pun bisa saja ditabrak pengendara mabuk. Jatuhlah kita. Tapi Dr. Sudaryanto, dosen saya itu tahu betul apa artinya jatuh dan bangkit lagi. Kreativitas, intelektulaitas dan daya hidupnya tak putus ditebas parang. Ia bangkit dengan dahsyat : tetap mengajar dan produktif menuliskan banyak buku yang memberi sumbangan besar bagi dunia linguistik Indonesia.

Sekitar enam tahun yang lalu saya bertemu dengan seorang teman kuliah. Cerita ngalor ngidul, sampailah kami pada obrolan tentang dosen-dosen kami. Teman ini bercerita bahwa Pak Daryanto, demikian kami biasa memanggilnya, tidak lagi mengajar di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Berkonflik dengan Bapak Djoko Surjo yang waktu itu menjabat sebagai dekan, begitu katanya. Dalam hal apa mereka berkonflik, saya lupa karena tidak terlalu jelas alur cerita yang sampai kepada saya. Tapi pasti sesuatu sesuatu yang sangat serius, sebab konflik itu berhasil menyingkirkan Pak Daryanto dari Fakultas Sastra.

Masih menurut cerita teman itu, Pak Daryanto kemudian mengajar di sebuah perguruan tinggi yang tidak ternama di Klaten. Episode selanjutnya tak pernah sampai kepada saya. Beberapa hari yang lalau saya iseng mencari namanya di google. Saya bersyukur mendapati bahwa guru saya itu masih sehat, terus produktif dan tak pernah patah semangat.

Tak banyak yang saya dapati tentang hidup pribadinya (juga gambarnya). Saya mengenangnya sebagai lelaki bertubuh kecil dan kurus, berkulit gelap dan selalu berjalan tergesa. Pagi-pagi ia datang ke kampus dengan mengendari mobil mungil, sejenis mobil Mr. Bean, saya lupa mereknya. Saat tertentu ia mengajak isterinya  ke kampus untuk suatu urusan. Entahlah. Jaman itu kan, isteri PNS harus terlibat dengan kegiatan yang namanya Dharma wanita. Bertolak belakang dengan Pak Daryanto yang agak culun, isterinya ramping, tinggi dan cantik. Sesekali  Pak Daryanto naik sepeda jengki yang digowesnya cepat-cepat.

Ia tertib dan sistematis dalam mengajar tetapi bukan juga dosen yang sulit didekati. Kacamata bertangkai tebal memberi kesan serius. Sebelum kedatangannya di kelas, pegawai tata usaha memasang TOA dan menyiapkan segelas air putih di meja. Mahasiswa tak boleh datang terlambat. Ia masuk diiringi seorang asisten dosen yang selalu duduk di baris paling depan tepi kanan. Ia memasang kaus tangan warna hitam (saya tidak pernah bertanya – mungkin ia alergi kapur), mengucap salam dan mulai mengajar.

Kuliah tiga jam itu dibagi dalam dua sessi. Di tengah-tengah ia akan berhenti selama 10 menit untuk istirahat. Sang asisten akan membagi kartu presensi. Kuliah dilanjutkan, termasuk tawaran untuk sessi tanya jawab. Tapi biasanya tidak banyak mahasiswa yang bertanya. Maklumlah. Di mana-mana mahasiswa ya sama saja. Diam itu menyiratkan seribu jawaban dari sangat tahu sampai tidak tahu apa-apa. Mungkin juga karena kami waktu itu baru semester pertama, jadi kesenjangan usia dan intelektualitas dengan Pak Daryanto terasa sangat jauh.

Cara Pak Daryanto mengajar sangat mudah dimengerti. Ia selalu membagi silabus pada hari pertama perkulihian. Dan ia patuh pada jadwal yang dibuatnya sendiri. Well prepared and organized person. Satu hal saya masih saya ingat dan ajaran beliau. Ciri orang pandai dan bijaksana adalah membuat masalah rumit menjadi sederhana. Ciri orang bodoh adalah membuat masalah sederhana menjadi rumit.

Ia tentu mempraktikkan kata-kata itu. Di kala hidupnya menjadi rumit, ia bertahan dan membangun optimisme. Dua puluh tahun haknya dirampas dan pada titik tertentu ia berkata, “ Sekarang saya siap berperkara…,”  atau kata lain yang mengartikan kearifan dan ketegasan, “ di sepanjang hidup, kita tidak dapat memilih untuk tidak menyampaikan makna ke dunia sekeliling kita…”

Saya membayangkan ia mengatakan kata –kata itu dengan gayanya yang khas : energetik, lugas.…dan tampilan fisik yang lugu cenderung culun. Yup. Mari Pak ungkapkan “makna” dan kebenaran meski pahit bagi berbagai pihak (kita juga termasuk di dalamnya), sebab itulah arti sebuah integritas.♣♥♣

  ==============================================

 sudaryanto_artkl

SUDARYANTO, AKAR BUDI BAIK

— Hariadi Saptono

DI bukunya yang mutakhir ”Semiotik” (2009)—sebuah buku terjemahan mungil yang naskahnya sebenarnya sudah belasan tahun tersimpan di laci—terungkaplah anak-kunci-hati penulisnya. Dr Sudaryanto menulis dengan jitu: ”…di sepanjang hidup kita, kita tidak dapat memilih untuk tidak menyampaikan ’makna’ ke dunia sekeliling kita.”

Sejak sekitar 1999, ia memang tidak lagi mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Akan tetapi, pergulatannya dengan bidang-bidang yang menjadi perhatian dan minatnya membuat Dr Sudaryanto—ilmuwan yang ke mana-mana hanya bersepeda onthel itu-—tak lenyap dari peta ilmuwan di Indonesia, khususnya kajian linguistik dan semiotika Indonesia.

Tiga bidang minatnya adalah pertama, linguistik (sintaksis, tipologi, dan semestaan bahasa, teori linguistik, metode linguistik, leksikografi bahasa Jawa/daerah, hiposemantik Jawa); kedua, semiotika (ikonisitas verbal); dan ketiga, pemrosesan direktori dan profil.

Bahkan, para mantan mahasiswa dan koleganya di ranah linguistik sangat menghormatinya sebagai perintis dan secara terbuka menyebut Sudaryanto seorang linguis-filsuf.

”Bapak itu filsuf. Bapak Sudaryanto harus disebut eyang guru,” kata salah satu alumni Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UGM, dengan mata berkaca-kaca, saat perayaan Peringatan 60 Tahun Dr Sudaryanto, 12 September 2009 di Kampus Universitas Sanata Dharma, salah satu dari belasan universitas di Indonesia di mana Sudaryanto menjadi dosen pembimbing program pascasarjana.

”Anak-kunci-hati” hidup Sudaryanto terungkap kembali saat ia memberi sambutan setelah seminar dan pembahasan buku kado bagi Sudaryanto berjudul Peneroka Hakikat Bahasa, Karangan Muhibah untuk Sudaryanto, terbitan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta bekerja sama dengan Universitas Widya Dharma Klaten, Jawa Tengah.

Sudaryanto mengemukakan, ilmuwan kita rakus mengimpor teori asing dan tidak pernah mencipta teori sendiri. Padahal di Inggris, di Perancis, teman-teman ilmuwan mendialogkan kajian-kajian mereka dan mereka saling menghargai temuan mereka. Dialog jadi penting jika kita menemukan isu-isu besar. ”Apa tidak mungkin di Indonesia dikobar-kobarkan isu-isu besar. Ya, tetapi ini hanya bisa dipahami untuk orang yang punya jiwa filosofis,” kata Sudaryanto menyebut dua figur filsuf (alm) Prof Dr Driyarkara dan (alm) Prof Dr Sudjatmoko.

Di rumahnya, Perumahan Jombor Baru, Mlati Sleman, ia mengungkapkan tali-temali filosofi hidup dan rentetan peristiwa mengenaskan yang menimpa diri dan kariernya sebagai ilmuwan yang disia-siakan.

Tali-temali persoalan yang dia ungkapkan mendadak mirip gaya Sudaryanto mengelola rumah dan perabot rumahnya. Tanaman sulur-suluran dibiarkan merambat dan menjulur di langit-langit ruang tamu. Di antara sulur tanaman itu anggota keluarganya bahkan menggantungkan bonekaboneka monyet…. Di ruang tamu itu pula foto hitam-putih Sudaryanto dan istrinya (yang cantik) dalam ukuran sekitar 120 X 90 sentimeter dipajang sebagai hiasan dinding utama.

”Sekarang, saya siap berperkara dan selama ini sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tidak pernah menerima gaji,” kata dia.

Sudaryanto sebenarnya lebih siap untuk dua hal esensial: mengarungi bidang ilmu kecintaannya dan filosofinya; serta sewaktu-waktu bila diperlukan berperkara di pengadilan untuk menuntut keadilan.

Setelah karier dan hak hidupnya dirampas sejak peristiwa tahun 1992, hampir 20 tahun ia menahan diri terhadap perlakuan atasannya di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Itu bermula dari penundaan penerimaan gelar profesor tahun 1992, yang ditunda secara lisan hingga 1993, tetapi terus berlarut tanpa penjelasan resmi, kecuali pernyataan dirinya dianggap tidak loyal meskipun nilainya sebagai PNS memadai. Ia secara perlahan kemudian disingkirkan ketika ia dan istrinya pada Maret 1999 ditolak untuk mengambil haknya, gaji yang sudah terlambat dibayarkan.

Sekarang, ia lebih melihat peran dirinya sebagai ilmuwan yang berusaha mempertahankan argumentasi orisinal. ”Ini penting saya tekankan karena linguis kita berusaha keras menerapkan teori-teori yang ada karena dianggap ampuh meskipun mereka kadang ragu karena datanya tidak cocok. Pada saat teori ampuh dan data valid dibenturkan, ilmuwan kita bingung.”

Itu sebabnya ia menganjurkan lebih baik mundur lebih dulu untuk memperbanyak data, lalu dipikirkan sendiri, lalu dibuat hipotetis sendiri. Yang tak kalah penting, ilmuwan kita tidak biasa mendalami latar belakang sebuah teori. ”Jadi, seperti pernyataan Bambang Kaswanti itu. Itu sebabnya adalah komplikasi jiwa yang minder,” kata Sudaryanto.

Prof Dr Bambang Kaswanti Purwo adalah kolega Sudaryanto, linguis dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Ia menilai, kekuatan Sudaryanto adalah pada kemampuan mencari data secara cepat, dan menyusunnya menjadi metode linguistik. ”Pak Dar bahkan membuang waktunya untuk membantu linguis muda meneliti,” kata Kaswanti.

Ucapan Sudaryanto yang sering kali muncul juga dikutip pada buku Peneroka Hakikat Bahasa, Karangan Muhibah untuk Sudaryanto adalah ”Orang yang dapat memberi hanyalah orang yang memiliki. Bila seorang linguis tak memiliki pengetahuan yang meyakinkan mengenai bahasa, lalu apa yang dapat diberikannya kepada ilmuwan lain?

Namun, meskipun ia sungguh-sungguh orang Jawa, ia tahu persis dunia ilmiah tidak seperti pergaulan atau adat-istiadat Jawa. ”Jaga rasa, tepa selira, itu tidak ada dalam dunia ilmiah. Oleh karena itu, kalau pendapat saya salah, saya sangat siap mendapat masukan dan kritik. Begitu pula sebaliknya, saya tidak akan sungkan mengkritik senior saya atau ilmuwan sepuh jika argumen saya lebih benar. Karena itu dunia ilmiah dan dunia akademis mestinya dunia paling demokratis: ada argumen, sanggahan harus didukung data, berani mengakui kekeliruan.

Sudaryanto dalam pergulatannya merumuskan, abad ke-21 adalah abad hanya bagi umat manusia bermutu. Jadi, yang tidak bermutu akan tersingkir. Abad ini diperuntukkan bagi dua pihak, yaitu pertama, guru dan dosen, dan kedua, para ilmuwan aneka semiotika dan para kreator aneka tanda. ”Tetapi, kita tahu kan, ternyata guru dan dosen kita martabatnya sangat rendah. Masih tergoda dan terkecoh,”

Sedangkan ilmuwan aneka semiotika dan para kreator aneka tanda adalah mereka yang tak pernah menjadi epigon (peniru).

”Ada lima kreator—dan ini tidak berurutan secara berjenjang, yaitu seniman karena karya-karyanya yang menyentuh; ilmuwan yang berperan penemuan; kalangan patiman (yaitu orang- orang yang memberikan simpati untuk menggerakkan orang) seperti pengusaha; filsuf, makhluk yang serba bebas dan gagasannya menyeluruh serta mendasar. Kreator terakhir adalah wartawan: kerja kreatif mereka yang menyajikan kebenaran dengan sudut pandang berbeda-beda menempatkan wartawan sebagai pekerjaan kreatif.

Sulur-sulur pohon di ruang tamu Sudaryanto kini menjulur bersama akar-akar budi baiknya yang selalu menopang moril dan watak para linguis muda dan koleganya…

Sumber: Kompas, Minggu, 20 Desember 2009

 http://cabiklunik.blogspot.com/2009/12/persona-sudaryanto-akar-budi-baik.html

Materi Kuliah Bahasa Indonesia II

Mata Kuliah ini memberikan dasar praktik kemahiran berbahasa Indonesia. Diharapkan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan menyimak, berbicara, membaca, dan terutama menulis : ragam kreatif, semi ilmiah, dan ilmiah.

Materi dasar terdiri dari  power point sebagai berikut :

LEARNING CONTRACT-BAHASA INDONESIA II

Dasar keterampilan berbahasa

MENYIMAK ppt

Menulis ppt

MENGENAL MEDIA (CETAK)

Slide Berita

BERBICARA

MEMBACA ppt

ALINEA

Karangan Ilmiah semi ilmiah – topik

kerangka

Kutipan

Penulisan Kutipan