Mari bicara tentang kopi. Selagi musim hujan begini ( oh… sudah setahun ini Indonesia diberkahi dengan musim kemarau basah), kopi menjadi teman yang nikmat untuk diajak bekerja, belajar ataupun bersantai di senja yang sejuk.
Bertahun yang lalu, saya bukanlah seorang peminum kopi. Benar bahwa saya besar di pulau Sumatera, sebuah tempat penghasil salah satu varian kopi nikmat di dunia. Tetapi lambung yang sensitif membuat saya melupakan kopi. Saya suka mencium baunya, baik saat disangrai di rumah tetangga maupun ketika digiling di pasar-pasar tradisional yang saya lewati.
Ketika sepuluh tahun yang lalu saya bermukim sementara waktu di Ecully, sebuah desa di perbukitan karang Rhone– Alphes, saya terpaksa minum kopi. Saya mengikuti kelas komunikasi yang mengharuskan saya duduk dan praktikum seharian suntuk di luar rumah. Dalam hawa dingin – dan salju seringkali turun karena desa pegunungan – saya harus melawan rasa ngantuk dan jenuh. Anggur memang murah tetapi saya belum terbiasa. Minuman yang bisa direguk sesukanya di asrama ini, membuat saya limbung tak karuan.
Jadi alternatifnya ya kopi. Jam sepuluh saya ngopi. Setelah makan siang ketika teman-teman lain minum anggur sebagai penutup, saya tetap pilih kopi. Sore ngopi lagi. Apa boleh buat, ketika sudah terbiasa dengan anggur, saya malah tidur nyenyak beberapa saat sesudah menenggaknya. Jadi kopi merupaka alternatif untuk mengahangatkan badan dan mengganjal mata.
Sebulan seperti itu, jantung saya terasa berdetak lebih keras. Saya sering deg-degan. Waduh, porsi kafeinnya sudah terlalu banyak meracuni syaraf saya rupanya. Beberapa saat kemudian saya mencari tahu sebabnya. Rupanya kopi yang beredar di sana adalah jenis arabica, yang memang lebih kuat rasanya dari robusta yang sesekali yang minum di kampung. Kopinya juga dalam bentuk ekstrak (seperti nescafe misalnya), yang memang menyajikan sari patinya saja tanpa ampas.
Pulang kampung, saya jadi suka kopi, meski saya tak menyebut diri sebagai peminum sejati. Saya berusaha tahu jenis-jenis kopi. Saya berusaha membedakan varian-varian itu di lidah saya. Saya berusaha mencari strategi agar nikmat kopi tak memicu produksi asam lambung saya meningkat sehingga perut kembung. Nah ini hasil penelusuran saya.
Kopi Robusta dan Arabica
Terlepas bahwa arabica lebih mahal di pasaran dunia, saya lebih suka robusta. Robusta terasa lebih ringan di lidah. Warnanya lebih terang dan tidak terlalu asam. Secara alamiah teksturnya memang lebih kasar di banding arabica. Tetapi sekarang saya mudah mencari robusta kemasan yang digiling sangat halus sehingga ketika diseduh tidak banyak meninggalkan ampas.
Kalau saya ditanya enak mana robusta atau arabica ? Jawabnya tergantuh sih. Kenikmatan kopi tergantung pada beberapa hal. Pertama: tanah tempatnya tumbuh. Ini yang membuat sama-sama varian arabica dari sumatera berbeda rasa dengan arabica yang tumbuh di Amerika latin sana. Perbedaan selanjutnya adalah usia pohon. Pohon yang berusia tua relatif menghasilkan rasa kopi yang lebih enak daripada biji dari buah pertama. Pastikan juga biji kopi yang dipetik hanya yang benar-benar matang merah kehitaman. Lantas menjemurnya juga harus sampai benar-benar kering. Tangan orang yang menyangrai kopi juga membuat perbedaan yang siginifikan. Orang yang tak terbiasa pasti akan membuatnya gosong kan ?
Secara umum begini perbedaan arabica dan robusta.
Kopi Arabica yang mengauasai 70 % pangsa pasar dunia mempunyai rasa yang kental dan pahit di mulut. Ia tumbuh di dataran tinggi dengan syarat iklim kering selama tiga bulan terturutan. Pohonnya lebih pendek daripada robusta dan pemeliharaannya lebih rumit karena arabica lebih rentan terhadap penyakit karat daun. Jumlah buah dalam tiap tangkai juga lebih sedikit dengan bijinya berbentuk oval. Bila telah diproses baunya lebih netral, tekstur secara alamiah lebih halus. Ada rasa asam di lidah meski sebenarnya kadar kafeinnya lebih rendah daripada robusta.
Robusta lebih kuat terhadap serangan karat daun tetapi lebih rentan terhadap serangga. Ia bisa tumbuh di dataran rendah. Pohonnya lebih tinggi daripada arabica. Jumlah buah dalam tiap tangkai juga lebih banyak dan berbentuk bulat. Bila telah diproses baunya lebih harum, lebih soft di lidah dan warnanya agak kecoklatan. Tetapi jangan salah, kandungan kafein pada robusta lebih tinggi daripada arabica (lihat tabel).
Sekarang sesudah berani menyebut diri penikmat kopi, apakah saya bisa membedakan mana kopi gayo, kopi toraja, kopi jawa dan sebagainya ? Beluuuum ! Tetapi biasanya ledah saya bisa membedakan mana arabica mana robusta. Saya mau sih belajar jadi barister atau bahkan pemilik kedai kopi. Tapi sementara ini baru cukup puas sebagai penikmat saja. Lagi pula sebenarnya varian utama kopi ya Cuma arabica dan robusta itulah. Ada juga african coffee, tapi sampai saat ini baru dalam tahap pengembangan. Nama-nama semacam kopi jawa, kopi sulawesi, kopi gayo dsb hanya menunjukkan tempatnya ditanam.
Mana yang lebih banyak beredar di Indoensia ? Indonesia penghasil kopi. Jadi kedua jenis ini banyak di pasaran. Tidak selalu pada labelnya ditulis apakah itu jenis robusta atau arabica. Yang lebih sering ditulis adalah asal tumbuhnya (bahkan asal pabrik pengolahannya), misalnya kopi bali, kopi toraja, kopi papua, dsb. Dengan banyak tempat tumbuh, maka varian rasanya juga lebih kaya.
Banyak orang Indonesia kurang suka pada kopi arabica karena rasanya yang kuat dan agak pahit. Maka beberapa produsen bahkan Nescafe, mencampurkan robusta dalam produknya yang dijual di Indonesia. Tetapi untuk produk yang dijual di Eropa isi kemasan mereka sepenuhnya arabica.
Bisa dimengerti sekarang. Ketika pertama kali datang ke Ecully kopi yang saya bawa adalah robusta. Saya blend di kampus. Dan komentar teman-teman, “ Nice, but soft and light.” Ya karena mereka terbiasa minum nescafe yang 100% arabica, jadi robusta memberi sensasi baru di lidah mereka.