Menyoal Karakter Bangsa (1)

Saya merasa terusik setiap kali ingat  pelejaran di SD dulu bahwa kita adalah bangsa yang ramah, santun, berbudaya tinggi, toleran dan bermartabat. Saya agak lupa, mungkin pelajaran kewarganegaan atau apa namanya. Sekarang setelah berjalan ke banyak tempat saya sering bertanya pada diri sendiri, apakah kalimat pujian pada diri sendiri itu masih berlaku ?

Ini sebuah contoh kecil.  Saya pikir gerbang sebuah negara adalah bandara internasionalnya. Dari sini kita bisa membuat asumsi sementara  karekter bangsa tersebut. Saya merasa gamang setiap kali mendekati bandara Sukarno-Hatta. Sekumpulan kuli angkut, supir dan calo taksi, dan entah apa lagi berbaur dengan penumpang, mencari kesempatan dalam kesempitan. Hal yang sama jika kita berada si stasiun ketera api dan terminal bus di semua kota besar Indonesia. Saya pikir orang asing yang baru pertama kali mengunjungi Indonesia akan ketakutan mengalami peristiwa ini.

Saya tidak membandingkan dengan beberapa negera Eropa yang sudah mapan. Dengan negara jiran sajalah, yang nota bene kemakmuran dan adat budayanya tak jauh beda. Saya pernah mendarat jam satu malam di LCCT (Low Cost Courrier Terminal) Kuala Lumpur. Suasana agak lengang. Saya berjalan ke luar arena bandara mencari teman penjemput yang datang terlambat. Semua orang sibuk dengan urusannya sendri, dan tak ada seorangpun yang mencoba mengusik orang lain. Saya tidak membayangkan hal seperti ini bisa terjadi di Sukarno-Hatta atau bandara lain di Indonesia. Saya pasti jadi sasaran pemeras atau kriminal lain.

Di Manila saya punya pengalaman lain. Beberapa hari sebelum menjejakkan kaki di bandara Ninoy Aquino (NAIA) kolega saya memberi sejumlah petunjuk. Usahakan tidak mendarat sesudah maghrib. Jangan berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal. Pilih taksi di dalam area bandara, meski mahal, tapi pasti aman. Yang di luar bandara, sopirnya sering memeras. Tapi ketika saya ngotot memilih taksi di luar, tidak ada calo-calo yang memaksa saya naik taksi tertentu. Sopir taksi yang saya naiki bersikeras memakai argometer, tapi saya ngotot untuk tidak pakai argometer dan mematok harga 350 peso sampai Ateneo. Dengan argo, dia akan membawa saya keliling kota, karena saya tidak tahu  jalan. Sementara harga 350 peso itulah tarif normal pada jarak tersebut. Karena kami sama-sama ngotot, dia memutar taksinya mengantar saya kembali ke gerbang bandara, tanpa membayar sepeserpun, padahal waktu itu kami sudah berjalan lebih dari 0,5 km. Hal yang mustahil terjadi di Jakarta.

Itu hanya pengamatan kecil di bandara. Jika berjalan lagi masuk ke dalam kota, kita akan semakin gamang lagi dengan karakter bangsa kita ini. Lalu lintas yang semrawut, kendaraan yang saling serobot. Fasilitas umum yang tak ada atau tak terpelihara, toilet umum atau trotoar misalnya. Toilet umum di pinggir jalan nyaris tak ada di hampir semua kota di Indonesia. Kalaupun ada pasti rusak atau baunya tak tertahankan. Di pusat-pusat pertokoan, hampir sama saja, toilet bukan sarana yang dianggap penting. Trotoar, bisa dipastikan akan digunakan untuk mangkal pedagang kaki lima. Jalanan tidak ramah untuk para pejalan kaki dan rakyat jelata. Hm…bagaimana,  padahal kami kan juga membayar pajak ?

Silakan tulis komentar